Rabithah Alawiyah

15 Kekhususan Umat Nabi Muhammad ﷺ Di Bulan Ramadhan

Rabithah Alawiyah-Puasa bukanlah syariat yang baru. Umat sebelum Islam pun diperintahkan berpuasa sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ﷺ:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ‌كُتِبَ ‌عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah: 183)

Jumhur para sahabat dan tabiin berpendapat bahwa puasa memang telah disyariatkan untuk umat terdahulu, tetapi penentuan Ramadhan sebagai bulan puasa merupakan kekhususan umat Nabi Muhammad ﷺ. Ada pula yang berpendapat bahwa puasa Bulan Ramadhan pernah disyariatkan kepada umat terdahulu, kemudian dilupakan.

Lantas apa saja yang membedakan puasa umat Nabi Muhammad ﷺ dengan puasa umat terdahulu? Berikut ini daftar lima belas kekhususan puasa bagi umat ini berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan mengenainya:

  1. Allah ﷻ memberikan pandangan khusus kepada Umat Islam pada malam pertama Ramadhan
  2. Surga berhias di Bulan Ramadhan untuk umat Islam
  3. Aroma mulut orang yang berpuasa lebih utama di sisi Allah ﷻ dibandingkan wangi minyak kesturi
  4. Para malaikat memohonkan ampun untuk mereka yang berpuasa ketika mereka berbuka
  5. Di malam terakhir Ramadhan, maghfirah Allah ﷻ menyeluruh kepada yang berpuasa Ramadhan.
  6. Setan-setan dibelenggu selama Bulan Ramadhan.
  7. Pintu neraka ditutup selama Bulan Ramadhan.         
  8. Ikan-ikan di lautan memohonkan ampun ketika mereka berbuka puasa.
  9. Dianjurkan untuk sahur, berbeda dengan umat sebelum kita yang tidak diperbolehkan makan setelah tidur malam.
  10. Boleh berhubungan suami istri sampai fajar, umat sebelum kita tidak boleh berhubungan badan setelah Shalat Isya atau setelah tidur.
  11. Anjuran mengakhirkan sahur sampai mendekati waktu Shalat Shubuh.
  12. Anjuran menyegerakan berbuka.
  13. Puasa Ramadhan disertai puasa enam hari Bulan Syawal setara dengan puasa setahun.
  14. Malam Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan.          
  15. Idul Fitri dan Shalat Hari Rayanya.

Dua Kisah Tentang Keringanan Hukum Puasa Bagi Umat Ini

Di antara hukum puasa umat terdahulu, bahwa mereka boleh makan dan minum di malam hari selama belum tidur. Apabila telah tidur maka mereka tidak diperbolehkan lagi makan sampai malam berikutnya. Hukum ini diwajibkan pada permulaan Islam.

Kisah Qais bin Shirmah Al-Anshari

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari kisah tentang penghapusan hukum ini:

Diriwayatkan dari Bara, dahulu para sahabat Nabi ﷺ jika ada yang berpuasa kemudian tidur setelah Magrib sebelum berbuka maka  malam itu ia tidak boleh makan, tidak pula siangnya, sampai Maghrib berikutnya. Suatu hari Qais bin Shirmah berpuasa. Ketika telah waktunya berbuka ia bertanya kepada istrinya:

“Apakah ada makanan.”

Istrinya menjawab: “Tidak, tapi aku akan pergi untuk mencarikannya untukmu.”

Di siang harinya, Qais telah bekerja sangat keras sehingga saat menunggu makanan ia tertidur. Saat istrinya tiba membawa makanan dan melihatnya tertidur, istrinya berkata: “Celaka engkau.”

Maka Qais tidak menyantap makanan malam itu, esoknya ia kembali puasa. Di pertengahan hari, ia pingsan. Lalu kisahnya diceritakan kepada Nabi ﷺ maka turunlah ayat:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (QS Al-Baqarah: 187) Maka para sahabat pun sangat gembira dengan turunnya ayat ini.

Kisah Sayidina Umar bin Khathab ra

Disebutkan dalam Tafsir Baghawi, para ahli tafsir mengatakan bahwa pada permulaan Islam, jika seorang berbuka puasa ia boleh makan, minum, dan berhubungan dengan istrinya sampai melakukan Shalat Isya atau tidur sebelumnya. Jika ia sudah melakukan Shalat Isya, atau tidur maka haram baginya untuk makan dan berhubungan dengan istrinya sampai malam berikutnya.

Suatu saat Sayidina Umar bin Khathab  radhiyallahu anhu berhubungan dengan istrinya setelah melakukan Shalat Isya. Setelah mandi, beliau menangis dan mencela dirinya. Lalu beliau mendatangi Nabi ﷺ dan berkata:

 يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَعْتَذِرُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَيْكَ مِنْ نَفْسِي هَذِهِ الْخَاطِئَةِ، إِنِّي رَجَعْتُ إلى أهلي بعد ما صَلَّيْتُ الْعِشَاءَ فَوَجَدْتُ رَائِحَةً طَيِّبَةً فَسَوَّلَتْ لِي نَفْسِي فَجَامَعْتُ أَهْلِي فَهَلْ تَجِدُ لِي مِنْ رُخْصَةٍ؟

Wahai Rasulullah, sungguh aku memohon maaf kepada Allah dan kepadamu atas diriku dalam kesalahanku ini. Saat aku pulang menemui istriku setelah Shalat Isya, aku dapati wewangian sehingga nasfuku menggodaku dan aku berhubungan dengan istriku. Apakah ada keringanan bagiku darimu?

Maka Nabi ﷺ bersabda:

“مَا كُنْتَ جَدِيرًا بِذَلِكَ يَا عُمَرُ”

Engkau tidak pantas melakukan itu hal seperti itu, hai Umar.

Lalu para sahabat lain yang mengaku melakukan perbuatan seperti Sayidina Umar. Maka turunlah ayat berikut ini:

﴿‌أُحِلَّ ‌لَكُمْ ‌لَيْلَةَ ‌الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ﴾ [البقرة: 187] 

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. (QS Al-Baqarah: 187) Maka sejak saat itu, hukum puasa bagi umat ini dipermudah. Alhamdulillah..RA(*)