Rabithah Alawiyah

TRADISI PEMBACAAN SHAHIH BUKHARI DI BULAN RAJAB

Pembacaan Shahih Bukhari di Zawiyah Habib Muhammad bin Hadi Assegaf, Seiwun

Tradisi pembacaan Shahih Bukhari di Bulan Rajab bukanlah tradisi baru.  Di berbagai kota Yaman dan Hadramaut seperti Murawaah, Zabid, Seiwun, dan Tarim, tradisi mulia ini sudah berjalan ratusan tahun secara turun-temurun. Hari-hari pembacaan Shahih Bukhari bagaikan hari raya yang selalu dinantikan umat Islam, khususnya para penuntut ilmu.

Khatmul Bukhari di Dzi Shabah Qubah Habib Hasan Al-Bahr 2020

Tradisi ini lantas dibawa para pendakwah Alawiyinke Nusantara, sehingga menjadi populer pula di Indonesia. Di Kwitang, Jakarta sudah lebih dari seratus tahun tradisi ini berjalan. Pembacaan Shahih Bukhari di Bulan Rajab dapat ditemukan di berbagai kota di Indonesia, khususnya kota yang memiliki komunitas sadah Alawiyin sebagai lokomotif tradisi ini. Kita dapat menemukan tradisi ini berjalan secara rutin misalnya di Kota Pekalongan, Solo, Gresik, Pasuruan, Surabaya, Sukabumi, Jombang, Kediri, Jogjakarta, Banyuwangi, Palembang, dan kota-kota yang lain.

Khatmul Bukhari Solo 2017

Mengapa tradisi ini bisa begitu populer? Mengapa pula yang dibaca adalah Shahih Bukhari, dan bulan yang dipilih adalah Rajab? Pada kesempatan ini kita akan membahas sekilas mengenai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Mengapa Shahih Bukhari?

Shahih Bukhari dikenal sebagai kitab yang paling Shahih setelah Al-Qur’an. Penulisnya merupakan sosok ulama saleh yang terkenal memiliki doa mustajab. Al-Hafidz Ibnu Abu Jamrah menuturkan mengenai sosok Imam Bukhari:

كَانَ الْإِمَامُ الْبُخَارِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالٰى مِنَ الصَّالِحِينَ، وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ، وَدَعَا لِقَارِئِهِ

Imam Bukhari rahimahullah termasuk sosok yang saleh. Beliau terkenal mustajab doanya dan pernah mendoakan kebaikan bagi pembaca kitabnya. (Syarah Mukhtashar Shahih Bukhari, hal 6)

Shahih Bukhari

Keberkahan doa beliau menjadi salah satu daya tarik untuk membaca kitab ini. Selain itu, kitab Shahih Bukhari mengandung lebih dari tujuh ribu hadits Shahih yang mencakup berbagai jenis ilmu disertai penyebutan para perawinya. Dengan membaca keseluruhan Shahih Bukhari, maka nama Nabi ﷺ akan disebutkan ribuan kali disertai shalawatnya, demikian pula nama sahabat, tabiin, serta ulama yang menjadi periwayat hadits itu. Tentunya ini akan menurunkan rahmat yang sangat banyak ke dalam majelis sebab penyebutan satu saja nama orang saleh akan menjadi sebab turunnya rahmat, lalu bagaimana jika yang disebutkan adalah Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya? Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi Shahibul Maulid pernah berkata:

قِرَائَتُنَا فِي الْبُخَارِيِّ تُحَرِّكُ سَلَاسِلَ الرَّحْمَةِ

Pembacaan Al-Bukhari kita dalan menggerakan rantai-rantai rahmat Allah . (Fadhalil Qiraah Shahih Bukhari, hal 3)

Sejalan dengan itu, Habib Muhammad bin Hadi Assegaf menuturkan:

لَوْ لَمْ يَكُنْ فِي قِرَاءَةِ الْبُخَارِي إِلَّا الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ لَكَفَتْ، لِأَنَّهَا مَا ذُكِرَتْ فِي مَجْلِسٍ إِلَّا عَطَّرَتْهُ بِرِيحِهَا، فَكَيْفَ وَفِيهَا كَلَامُ رَسُولِ اللهِ وَأَخْبَارُهُ وَكَلَامُهُ مَعَ زَوْجَاتِهِ وَأَهْلِهِ، وَفِيهَا ذِكْرُ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَالصَّدَقَةِ وَالْإِجَارَةِ وَالْمُسَاقَاةِ وَغَيْرِ ذٰلِكَ مِنْ أَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ الْمُطَهَّرَة.

Seandainya tidak ada sesuatu yang lain dalam pembacaan Shahih Bukhari selain bacaan shalawat kepada Nabi ﷺ, maka itu sudah cukup menjadi alasan untuk membacanya. Tidaklah shalawat dibaca dalam suatu majelis kecuali akan menjadikannya semerbak dengan aroma wanginya. Lantas bagaimana jika disebutkan pula di dalamnya Sabda Rasulullah ﷺ, kabar-kabar mengenai Beliau, percakapan Beliau bersama istri dan keluarganya. Dan di dalamnya ada penjelasan mengenai yang halal dan haram, tentang shalat, puasa, zakat, haji, sedekah, tata-cara akad sewa dan musaqah (menyewa unuk merawat tanaman), dan hukum-hukum syariat suci lainnya? (Zawiyah Habib Hadi Wa Qiraah Bukhari Fiha, hal 16,17)

Habib Muhammad bin Hadi Assegaf

Pembacaan Shahih Bukhari juga telah terbukti dapat menghalau berbagai bencana dan mendatangkan berbagai kebaikan. Seringkali ketika terjadi kekeringan, bencana, wabah atau keadaan sulit lainnya, para ulama mengajak untuk membacakan Shahih Bukhari, dan tidak lama kemudian cobaan-cobaan itu berlalu karena keberkahan pembacaan Shahih Bukhari.

Al-Quthb Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf mengatakan:

كَانَ السَّلَفُ الصَّالِحُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ كَانُوا يَجْعَلُونَ قِرَاءَةَ الصَّحِيحِ الْبُخَارِيِّ لِكُلِّ مُهِمَّةٍ وَلِكُلِّ مُلِمَّةٍ قَرُبَتِ الْمُهِمَّةُ أَوْ بَعُدَتْ، فِي أَيِّ عَالَمٍ مِنْ عَوَالِمِ الْإِنْسَانِ

Dahulu, para salaf yang saleh radhiyallahu anhum mengadakan pembacaan Shahih Bukhari untuk setiap kepentingan dan setiap bencana yang datang, baik kepentingan itu mendesak atau tidak, untuk keperluan dimensi apa saja dari berbagai dimensi kehidupan manusia. (Zawiyah Habib Hadi, 29)

Khatmul Bukhari di Zawiyah Habib Muhammad bin Hadi Assegaf tahun 2020

Semenjak dahulu para ulama yang menjadi rujukan keilmuan telah mengakui keistimewaan pembacaan Shahih Bukhari. Al-Hafidz Ibnu Abu Jamrah (w 699 H) menukilkan perkataan seorang ulama:

إِنَّ كِتَابَهُ مَا قُرِئَ فِي وَقْتِ شِدَّةٍ إِلَّا فُرِّجَتْ، وَلَا رُكِبَ بِهِ فِي مَرْكَبٍ فَغَرِقَتْ قَطُّ

Kitab beliau (Al-Bukhari) tidaklah dibaca di waktu sulit, kecuali pasti kesulitan itu menjadi lapang; tidak pula dibawa dalam bahtera, melainkan bahtera itu pasti tidak akan tenggelam. (Syarah Mukhtashar Shahih Bukhari, hal 6)

Perkataan ini dinukilkan pula oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani (w 852 H) dalam Mukadimah Fathul Bari.

Al-Hafidz Tajuddin As-Subki (w 771 H) juga pernah berkata:

وَأَمَّا “الْجَامِعُ الصَّحِيحُ” وَكَوْنُهُ مَلْجَأً لِلْمُعْضَلَاتِ، وَمُجَرَّبًا لِقَضَاءِ الْحَوَائِجِ فَأَمْرٌ مَشْهُورٌ. وَلَوِ انْدَفَعْنَا فِي ذِكْرِ تَفْصِيلِ ذٰلِكَ وَمَا اتَّفَقَ فِيهِ لَطَالَ الشَّرْحُ

Terkait kitab ‘Al-Jami As-Shahih’ (Shahih Bukhari), dan keberadaannya sebagai tempat berlindung saat terjadi berbagai kesusahan, dan kemujarabannya untuk menunaikan berbagai hajat, maka itu adalah hal yang sudah terkenal. Andai kami mulai menyebutkan satu-persatu perinciannya dan apa yang terjadi terkait hal ini, tentunya penjelasannya akan menjadi panjang. (Thabaqat As-Syafiiyah Al-Kubra, juz 2 hal 234)

Al-Hafidz Ibnu Katsir (w 774 H) memberikan apresiasi tinggi kepada pembacaan Shahih Bukari, beliau berkata:

وَكِتَابُهُ الصَّحِيحُ يُسْتَسْقَى بِقِرَاءَتِهِ ‌الْغَمَامُ، وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى قَبُولِهِ وَصِحَّةِ مَا فِيهِ، وَكَذٰلِكَ سَائِرُ أَهْلِ الْإِسْلَامِ

Kitab beliau (Al-Bukhari) ‘As-Shahih’ dijadikan sarana untuk meminta hujan dengan pembacaannya. Para ulama dan semua umat Islam telah sepakat menerimanya dan bahwa semua isinya adalah shahih.  (Al-Bidayah Wan Nihayah, juz 14 hal 527)

Al-Hafidz Adz-Dzahabi (w 748 H) tidak ketinggalan memuji Shahih Bukhari, beliau berkata:

فَلَوْ رَحَلَ الشَّخْصُ لِسِمَاعِهِ مِنْ مَسِيرَةِ ‌أَلْفِ ‌فَرْسَخٍ لَمَا ضَاعَتْ رِحْلَتُهُ

Seandainya seorang melakukan perjalanan sejauh seribu farsakh (± sekitar 5.000 km) hanya untuk mendengarkannya (Shahih Bukhari), sungguh perjalanannya itu tidak sia-sia. (Tarikhul Islam, juz 5 hal 142)

Kitab-kitab sejarah Islam menyebutkan dengan jelas bagaimana pembacaan Shahih Bukhari terbukti dapat menjadi wasilah kemenangan umat Islam, dan keamanan menghadapi berbagai mara bahaya dan bencana.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Al-Habib Muhammad bin Hadi Assegaf meniatkan berbagai hal-hal besar yang baik dalam pembacaan Shahih Buhari di Bulan Rajabnya. Beliau mengatakan:

وَنُرِيدُ نَفْعَ قِرَاءَتِنَا هٰذِهِ يَكُونُ لِلْعَالَمِ كُلِّهِ، كُلٌّ يُكَبِّرُ الْهِمَّةَ فِي الدُّعَاءِ وَعَلَى اللهِ الْقَبُول، عَمَّمْنَا الدُّعَاَء لَنَا وَلَكُمْ وَلِأَوْلَادِنَا، اَلْمَوْجُودِينَ وَمَنْ سَيُوجَدْ، وَالْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ، وَمَنْ حَضَرَ وَمَنْ غَابَ، اَلْحَيِّ وَالْمَيِّتِ، مُتَوَسِّلِينَ إِلَى اللهِ بِالنَّبِيِّ وَآلِهِ، وَالْبُخَارِي وَرِجَالِهِ، وَبِجَاهِهِمْ عَلَيْهِ يَمُنُّ بِالْقَبُولِ، وَحُصُولِ الْمَسْئُولِ، وَبُلُوغِ الْمَأْمُولِ..

Kami berharap manfaat pembacaan kita ini dapat dirasakan seluruh alam. Semua harus memperbesar himmah (cita-cita) dalam berdoa, Allah yang akan mengabulkannya. Kami mendoakan untuk semuanya, untuk diri kami, kalian, anak-anak kami,  yang sudah ada maupun yang akan ada, untuk yang dekat maupun yang jauh, yang hadir maupun yang tidak hadir, yang hidup maupun yang sudah wafat. Dengan bertawasul kepada Allah melalui Nabi dan keluarganya dan Imam Bukhari beserta perawi-perawi haditsnya. Dengan kedudukan mereka di sisi-Nya, semoga Allah menerima amal kita, mengabulkan permintaan kita, dan menyampaikan kepada cita-cita kita.. (Zawiyah Habib Hadi, hal 20)

Mengapa Rajab?

Tradisi pembacaan Shahih Bukhari di bulan Rajab sudah mengakar di kalangan masyarakat Yaman dan Hadramaut semenjak ratusan tahun lalu. Ini menunjukan kecintaan mereka kepada hadits Nabi ﷺ. Lalu mengapa tidak setiap bulan saja dibacakan Shahih Bukhari? Dan mengapa pula dipilih bulan Rajab?

Salah satu alasannya adalah untuk memilih waktu yang tepat untuk membacanya dan menghindari kejenuhan. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari bahwa Sahabat Ibnu Abbas mengadakan kajian ilmu setiap Hari Kamis saja. Ini membuat seorang lelaki penasaran dan berkata:

يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، لَوَدِدْتُ أَنَّكَ ذَكَّرْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ

Wahai Abu Abdurahman, aku sungguh berharap engkau mengajarkan kami setiap hari.

Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu menjawab:

أَمَا إِنَّهُ يَمْنَعُنِي مِنْ ذَلِكَ أَنِّي أَكْرَهُ أَنْ أُمِلَّكُمْ، وَإِنِّي أَتَخَوَّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ، كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌يَتَخَوَّلُنَا بِهَا، مَخَافَةَ الْسَآمَةِ عَلَيْنَا

Alasan yang membuatku tidak melakukannya adalah aku tidak ingin membuat kalian jenuh. Maka aku mencari-cari waktu yang tepat untuk memberi nasihat, sebagaimana Nabi dahulu mencari-cari waktu yang tepat bagi kami untuk memberi nasihat karena khawatir membuat kami jenuh. (HR Bukhari)

Al-Imam Al-Muhadits Abdurahman bin Sulaiman Al-Ahdal pernah memberikan jawaban serupa ketika ditanya mengenai hikmah dipilihnya Bulan Rajab untuk membaca Shahih Bukhari. Beliau menjawab, pada dasarnya Shahih Bukhari sama dengan kitab ilmu lain yang bisa dibaca kapan saja. Sedangkan mengapa kaum Ahdal dan para ulama Yaman memilih Bulan Rajab, maka itu untuk meneladai Nabi ﷺ yang selalu mencari-cari waktu yang tepat dalam memberi nasihat dan mengajarkan ilmu (التخول بالموعظة والعلم). Mengapa Rajab dipandang waktu yang tepat? Karena dua alasan:

Pertama : Rajab adalah bulan yang jatuh dekat dengan Bulan Ramadhan dan bulan-bulan Haji. Maka Rajab adalah bulan yang tepat untuk membekali umat mengenai tata-cara menjalani amalan yang dianjurkan di bulan-bulan setelahnya melalai pembacaan Shahih Bukhari. Di dalam Shahih Bukhari terdapat banyak sabda Nabi ﷺ yang menjelaskan masalah-masalah hukum puasa, keutamaan membaca Al-Qur’an, shalat malam, tata cara haji dan umrah/manasik, dan juga mencakup hukum terkait tata cara shalat qashar dan jamak ketika bepergian untuk haji, dan semisalnya.

Kedua: Rajab termasuk Asyhuril Hurum, bulan mulia di mana amal kebaikan di dalamnya dilipat-gandakan pahalanya. Begitu mulianya Bulan Rajab, sehingga sebagian ulama menyusun buku khusus terkait keutamaannya. Maka pembacaan Shahih Bukhari di bulan Rajab dipandang tepat untuk menambahkan perbuatan taat berupa mempelajari ilmu agama di dalamnya. (Mukadimah Kitab Al-Mustashfa, hal 15)

Pembacaan Bukhari di Hudaidah, Yaman

Keterangan ini sejalan dengan perkataan Al-Habib Muhammad bin Hadi Assegaf yang menyatakan bahwa pembacaan Shahih Bukhari di bulan Rajab adalah bentuk mengagungkan syiar Islam sebagai bekal untuk beramal di bulan-bulan berikutnya. Beliau berkata:

وَمِنْ جُمْلَةِ تَعْظِيمِ حُرُمَاتِ اللهِ قِرَاءَةُ الْبُخَارِيِّ فِي رَجَب، فَإِنَّ مَنْ قَامَ بِحَقِّ اللهِ فِي شَهْرِ رَجَب وَفَّقَهُ اللهُ لِلْقِيَامِ بِحَقِّهِ فِي شَعْبَان، وَمَنْ وَفَّقَهُ لِلْقِيَامِ فِي شَعْبَانَ وَفَّقَهُ لِلْقِيَامِ بِحَقِّهِ فِي رَمَضَان.

Termasuk bentuk mengagungkan kemuliaan Allah adalah pembacaan Bukhari di Bulan Rajab. Siapa yang menunaikan Hak Allah di Bulan Rajab, maka Allah akan memberinya taufiq untuk menunaikan Hak-Nya di Bulan Syakban. Dan siapa yang menunaikan Hak Allah di Bulan Syakban, maka Allah akan memberikan taufiq padanya untuk menunaikan Hak-Nya di Bulan Ramadhan.(Fadhail Qiraatil Bukhari, hal 4)

Bagaimana Bisa Menjadi Tradisi Baalawi?

Tradisi Pembacaan Shahih Bukhari sudah berjalan hampir seribu tahun di berbagai kota di Yaman dan Hadramaut. Mulanya tradisi pembacaan Shahih Bukhari di Bulan Rajab dilakukan oleh sadah Al-Ahdal. Di Kota Murawa`ah yang menjadi pusat komunitas Sadah Al-Ahdal, tradisi ini dirintis oleh Syarif Ali bin Umar Al-Ahdal (w 607 H) kemudian dilanjutkan secara turun-temurun sampai saat ini.

Pembacaan Bukhari di Zabid, Yaman

Al-Habib Hadi bin Hasan Assegaf menganggap baik tradisi yang dilakukan oleh sadah Al-Ahdal ini. Beliau pun mengadopsi tradisi tersebut dan menjadi pelopor pembacaan Shahih Bukhari Bulan Rajab di Seiwun. Sepeninggalan beliau, tradisi ini diteruskan oleh putra beliau, Al-Habib Muhammad bin Hadi Assegaf. Di bawah pengawasan beliau, pembacaan Shahih Bukhari Bulan Rajab menjadi semakin terkenal di kalangan sadah Baalawi. Mengenai hal ini, Al-Quthb Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf mengisahkan:

وَالْأَهَادِلَةُ فِي الْيَمَنِ مِنْ عَادَاتِهِمْ إِذَا دَخَلَ شَهْرَ رَجَبٍ يُخَصِّصُونَ قِرَاءَةً فِي الْبُخَارِيِّ فَأَخَذَ الْحَبِيبُ هَادِي عَلَى هذِهِ الطَّرِيقَةِ ثُمَّ صَارَ عَمُّكُمْ مُحَمَّدُ بْنُ هَادِي مِنْ بَعْدُ يَقْرَأُهُ فِي ثَمَانِيَةِ أَيَّامٍ. وَأَنَا مَا رَأَيْتُ بَرَكَةً كَمَا أَيَّام قِرَاءَةِ عَمِّكُمْ مُحّمَّدٍ ثَمَانِيَةَ أَيَّام وَتَحْقِيق، وَسُؤَالَات، وَإِشْكَالَات، وَإِيرَادَات، وَطَلَبَةُ عِلْمٍ يُحْضِرُونَ كُلَّ يَسْتَشْكِل وَكُلُّ يُورِدُ، وَالْبِرَكَةُ فِي الْقِرَائَةِ لَائِحَة.

Orang-orang Ahdal di Yaman memiliki tradisi ketika tiba Bulan Rajab, mereka memilihnya untuk pembacaan Al-Bukhari. Lalu Habib Hadi mengadopsi tradisi ini. Sepeninggalan beliau, Ammukum(paman kalian) Habib Muhammad bin Hadi mengatur agar pembacaannya selesai dalam delapan hari saja.

Aku tidak pernah melihat keberkahan sebagaimana keberkahan di delapan hari pembacaan Bukhari bersama Ammukum Muhammad. Dalam qiraah itu diberikan berbagai penjabaran, dijawab berbagai pertanyaan, kemusykilan dan sanggahan-sanggahan. Para penuntut ilmu menghadirinya dan menanyakan semua kemusykilan yang ada serta memberikan sanggahan-sanggahan. Keberkahan dalam pembacaan ini nampak jelas.” (Janil Qithaf hal: 119)

Dalam Mukadimah Jauhar Mashun juga disebutkan bahwa Al-Habib Hadi Assegaf menjadi pelopor pembacaan Shahih Bukhari di Bulan Rajab di Seiwun. Mulanya beliau membaca hanya berdua saja bersama muridnya, Syaikh Said bin Isa Al-‘Amudi. Kemudian jumlah yang hadir semakin ramai, terutama di masa putra beliau, Al-Habib Muhammad bin Hadi Assegaf. Di masa beliau, pembacaan Shahih Bukhari menjadi ajang untuk membahas berbagai masalah rumit yang terdapat dalam kitab tersebut. Meskipun demikian, majelis beliau diliputi kekhusyuan dan ruhaniyah karena keikhlasan pelopornya.

Suasana Khatmul Bukhari Masjid Baalawi 2015

Al-Habib Muhammad bin Hadi Assegaf termasuk tokoh yang memiliki banyak murid. Hampir semua generasi setelah beliau adalah muridnya. Maka dari beliaulah tradisi pembacaan Shahih Bukhari di Bulan Rajab tersebar ke seluruh Hadramaut, yang kemudian dibawakan oleh murid-murid beliau ke Nusantara.

Selain itu, tokoh sadah Baalawi lain mempopulerkan pembacaan Shahih Bukhari di Bulan Rajab juga adalah Al-Habib Ubaidillah bin Muhsin Assegaf. Al-Habib Ahmad bin Hasan Alathas radhiyallahu anhu mengatakan:

وَكَانَ الْحَبِيبُ عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُحْسِنٍ السَّقَّافُ مِنْ عَادَاتِهِ أَنَّهُ يَقْرَأُ الْبُخَارِيَّ فِي شَهْرِ رَجَب جَمِيعَهُ. حِصَّةً أَوَّلَ النَّهَارِ قَدْرَ سَاعَتَيْنِ، وَآخِرَ النَّهَارِ قَدْرَ سَاعَةٍ وَنِصْفٍ، وَيُكَمِّلُونَهُ فِي الشَّهْرِ الْمَذْكُور. وَكَذَلِكَ يَقْرَؤُونَ الْبُخَارِيَّ فِي الشَّهْرِ الْمَذْكُورِ جَمَاعَةٌ مِنَ السَّادَةِ فِي سَيْوُون وَفِي أَمَاكِنَ مُتَعَدِّدَةٍ. وَهِيَ عَادَةٌ مُسْتَحْسَنَةٌ يُوَزِّعُونَ قِرَآءَةَ الصَّحِيحِ عَلَى نَشَاطِهِمْ، وَكَذَالِكَ هَذِهِ الْعَادَةُ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي زَبِيدٍ وَغَالِبِ بُلْدَانِ الْيَمَنِ.

 “Di antara tradisi Al-Habib Ubaidillah bin Muhsin Assegaf adalah membaca seluruh Shahih Bukhari di Bulan Rajab. Sekitar dua jam di pagi hari, dan satu setengah jam di sore hari. Beliau membaca keseluruhannya selama Bulan Rajab itu.

Tradisi pembacaan Shahih Bukhari di Bulan Rajab juga dilakukan oleh sejumlah sadah di Seiwun dan di berbagai tempat lain. Ini adalah tradisi yang baik, mereka membagi-bagi pembacaan Shahih Bukhari sesuai dengan kadar semangatnya. Tradisi ini juga adalah tradisi yang dilakukan di Kota Zabid dan sebagian besar daerah-daerah Yaman.”  (Fadhail Qiraatul Bukhari : 3)

Di masa kini, tradisi pembacaan Shahih Bukhari semakin meluas baik di Hadramaut maupun di kota-kota di Indonesia. Semoga tradisi ini semakin luas sehingga dapat membawakan keberkahan untuk semua umat Islam.

Menjaga Adab

Para tokoh salaf sangat menekankan pentingnya menjaga adab ketika menghadiri majelis pembacaan Al-Bukhari. Ini karena yang dibaca adalah Hadits-Hadits Nabi ﷺ, maka wajib untuk memuliakannya seakan Nabi ﷺ sendiri yang sedang bersabda kepadanya. Al-Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab mengatakan:

مَا  يُقْرَأُ الْبُخَارِيّ إِلَّا وَالنَّبِيُّ حَاضِر، وَ لَا كَلَامُ الْحَبِيب عَبْدِ الله الْحَدَّادِ إِلَّا وَهُوَ حَاضِرٌ.

Tidak dibacakan kitab Shahih Bukhari kecuali Nabi pasti hadir. Dan tidak dibacakan kalam Al-Habib Abdullah AlHaddad kecuali beliau pasti hadir.

Al-Habib Muhammad bin Hadi Assegaf seringkali mewanti-wanti bagi mereka yang ingin menghadiri pembacaan Shahih Bukhari agar menjaga adab. Jika merasa tidak mampu menjaga adab, maka lebih baik tidak perlu hadir. Beliau radhiyallahu anhu berkata:

وَأَنْتُمْ أَيُّهَا الْحَاضِرُونَ مَنْ يَأْتِي لِقِرَآءَةِ الْبُخَارِيِّ يَأْتِي بِأَدَبٍ، فَمَنْ جَاءَ كَذَلِكَ أَهْلًا بِهِ، وَمَنْ لَمْ يَتَأَدَّبْ لَا يَجِيءُ، يَبْقَى فِي دَارِه، وَقِسْمُهُ مِنَ الْفَضْل اْلإِلٰهِي بَايَصِلْهُ

Wahai hadirin, siapa yang ingin hadir untuk membaca Shahih Bukhari maka datanglah dengan menjaga adab. Siapa yang datang dengan adab, kami menyambutnya. Namun siapa yang tidak bisa menjaga adab, jangan datang, diam saja di rumahnya. Maka Ia akan tetap mendapatkan bagian dari anugerah Tuhannya. (Fadhail Qiroatul Bukhari, hal 5)

Khataman Bukhari di Pekalongan

Al-Habib Alwi bin Syihab ketika menghadiri pembukaan pembacaan Shahih Bukhari di Masjid Baalawi, Tarim, mengatakan:

إِنَّا اجْتَمَعْنَا فِي هذَا الْمَحَلِّ الشَّرِيفِ لِقِرَاءَةِ حَدِيثِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، يَنْبَغِي أَنْ نَحْضُرَ بِأَدَبٍ وَخُشُوعٍ وَإِخْلَاصٍ، وَأَنْ نَصْدُقَ فِي التَّوْبَةِ وَالتَّوَجُّهِ إِلَى اللهِ وَالرُّجُوعِ إِلَيْهِ

Kita berkumpul di tempat yang mulia ini untuk membaca hadits Nabi Al-Musthafa , maka sudah semestinya kita hadir dengan penuh adab, khusyuk, ikhlas dan sungguh sungguh bertaubat dan menghadap kepada Allah serta kembali kepadanya. (Zawiyah, hal 40-41)

Al-Quthb Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf menjelaskan secara terperinci hal-hal yang harus diperhatikan saat menghadiri majelis pembacaan Shahih Bukari. Beliau berkata:  

“Siapa yang ingin menghadiri pembacaan Shahih Bukhari, hendaknya ia memperhatikan beberapa hal berikut :

Pertama: Menjaga adab ketika mendengarkan kalam yang datang dari lisan Nabi kalian ﷺ.

Kedua: Menghadirkan hati sehingga dapat memahami apa yang ia dengarkan.

Ketiga: Memohon kepada Allah agar diberikan kefahaman untuk dapat memahami hadits-hadits ini. Sabda-sabda Nabi ﷺ ada yang jelas maknanya dan ada pula yang samar, ada yang zahir dan ada pula yang batin, dan ada had serta mathlanya, sebab kalam Rasulullah ﷺ adalah penjelasan dan tafsir dari Kalam Allah ﷻ.

Keempat: Yakini dengan pasti rahmat Allah pasti turun ketika dibacakan sabda Nabi Muhammad ﷺ. Jika tidak, di mana lagi rahmat Allah ﷻ akan turun?  Tidak ada keraguan dan perdebatan lagi bahwa rahmat senantiasa turun di majelis itu, turun ketika disebutkan nama Nabi Muhammad ﷺ dan rahmat itu menyeluruh kepada semua yang menghadiri majelis yang seperti ini. Oleh sebab itu ia harus memperhatikan beberapa hal lainnya, yaitu:

  • Menghadirkan ruhaniah nabi ﷺ sehingga ia mendapatkan bagian rahmat yang sempurna.
  • Beradab dengan adab yang sempurna bersama Nabi ﷺ di majelisnya.
  • Beradab terhadap sabda Nabi ﷺ seakan-akan Beliau ﷺ hadir di sana.

Orang yang berbicara di majelis ketika dibacakan hadits Rasulullah ﷺ , maka dapat dipastikan bahwa hatinya tidak hadir. Jika hatinya hadir, tentu ia akan merasa takut berbicara ketika itu, khawatir akan tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan sebab tidak menjaga adabnya. Seandainya ia menjaga adab dan menghadirkan hatinya, maka karena sikapnya itu ketika ia bangkit ia akan mendapatkan rahmat yang sempurna, dan fath/kemenangan yang sempurna dengan madad/anugerah yang besar.” (Zawiyah Habib Hadi, hal 33-37)

Maka bagi siapa saja yang ingin menghadiri Majelis Pembacaan Shahih Bukhari, dan majelis-majelis kebaikan lainnya, datanglah dengan niat yang baik, dan adab yang baik. Dengan demikian insya Allah kita semua mendapatkan keberkahan majelis tersebut.. Aamiin ya robbal alamiin.

Pembacaan Shahih Bukhari di Zawiyah Habib Muhammad bin Hadi Assegaf