Posted on 09 June 2025
Berhaji menuju Baitullah merupakan ibadah yang sangat agung. Banyak adab yang perlu diperhatikan agar ibadah ini tidak menjadi sia-sia. Di antara adab-adab itu adalah:
Berhaji Dengan Harta Halal
Di antara yang sangat ditekankan bagi orang yang hendak pergi haji adalah berusaha keras agar bekal dan harta yang digunakan berhaji benar-benar halal. Ia harus sangat memperhatikan hal itu. Siapa yang berhaji dengan harta haram, maka hajinya tidak diterima oleh Allah ﷻ. Saat ia bertalbiyah ketika melakukan ihram dengan perkataan “Labbaik (aku penuhi panggilan-Mu).” Seruan itu akan dijawab oleh Allah ﷻ dengan:
لَا لبيْك وَلَا سعديك زادك حرَام ونفقتك حرَام وحجك مأزور غير مبرور
Tiada sambutan bagimu dan tidak ada pula kebahagiaan. Perbekalanmu haram, nafkahmu pun haram. Hajimu adalah dosa dan tidak mabrur. (HR Thabrani)
Sedangkan orang yang berhaji dengan harta halal, ketika ia mengucapkan talbiyah, Allah ﷻ akan menyambutnya dan berfirman:
لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، زَادُكَ حَلَالٌ، وَرَاحِلَتُكَ حَلَالٌ، وَحَجُّكُ مَبْرُورٌ غَيْرُ مَأْزُورٍ
Aku penuhi panggilanmu dan aku bahagiakan engkau. Perbekalanmu halal, kendaraanmu pun halal. Hajimu Mabrur dan bukan dosa. (HR Thabrani)
Merelakan Hartanya Untuk Haji
Orang yang berhaji janganlah merasa berat mengeluarkan harta untuk perjalannya. Ia harus merasa senang, sebab harta yang dikeluarkan dalam haji akan diganti dan diiringi dengan kebaikan, keberkahan, kemudahan serta kelapangan. Telah datang bahwa harta yang dikeluarkan dalam haji seperti harta yang dikeluarkan untuk berjihad di jalan Allah ﷻ. Setiap dirhamnya akan dibalas tujuh ratus kali lipat.
Memperbanyak Sedekah
Jika ia memiliki banyak harta, hendaknya ia berusaha keras untuk melapangkan pemberian kepada fakir miskin. Mengerahkan bantuan untuk orang-orang yang lemah dan kekurangan bagi fakir miskin secara khusus dan kepada selain mereka secara umum. Semua itu dilakukan dengan Ikhlas tanpa tujuan lain selain keridhoan Allah ﷻ Tuhan semesta alam.
Rendah Hati Dan Khusyu Dalam Perjalanan
Orang yang melakukan haji hendaknya rendah hati, khusyuk dan sederhana selama perjalanan haji. Dengan sifat demikian hendaknya ia datang kepada Allah, Yang Maharaja, Maha Perkasa, Serta Maha Besar.
Jangan sampai dalam perjalanan hajinya ia termasuk orang yang sombong, bergelimang kemewahan, maka di sisi Allah ia akan dimasukkan kepada golongan orang-orang yang terusir. Nabi ﷺ bersabda:
الْحَاجُّ أَشْعَثُ أَغْبَرُ
Orang yang berhaji itu rambutnya terurai (tidak rapi) dan berdebu. (HR Baihaqi)
Nabi ﷺ berhaji menaiki kendaraan sederhana dengan kain sebagai pelana sederhana pula, harganya tidak lebih dari 4 dirham. Semakin besar kerendahan diri orang yang berhaji serta keprihatinannya, dan semakin sederhana keadaannya dengan mengharapkan keridhoan Allah, maka hajinya akan semakin baik, suci, agung, serta sempurna.
Hujjatul Islam, Imam Ghazali rahimahullah mengatakan: “Allah ﷻ menjadikan perjalanan berhaji sebagai perumpamaan perjalanan menuju Akhirat. Hendaknya engkau menghadirkan dalam hati dalam setiap perbuatan yang dilakukan dalam perjalanan, apa yang serasi dengan keadaan di akhirat.
Ia mengingat saat mengucapkan perpisahan dengan keluarga dan sahabat untuk pergi haji, atas perpisahan dengan mereka saat sakaratul maut.
Ia mengingat saat menyiapkan bekal untuk perjalanan, atas menyiapkan bekal untuk perjalanan akhirat.
Ia mengingat saat melihat jauhnya jarak perjalanan dan kekhawatiran dari gangguan binatang buas atau perampok, atas jauhnya jalan menuju akhirat, pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir, dan adzab kubur.
Ia mengingat saat meliputi tubuhnya dengan kain ihram, atas diliputinya kelak dengan kain kafan.
Ia ingat saat melakukan sa’i di antara shafa dan Marwah, keraguannya di antara dua sisi timbangan mizan, mana di antara keduanya yang lebih berat.
Ia ingat saat wuquf, berdirinya ia pada Hari Kiamat.”
Demikian makna ucapan Imam Ghazali secara ringkas, maka renungkanlah hal itu pada tempatnya. Apa yang beliau ucapkan adalah demikian adanya. Semoga Allah membalas jasanya bagi umat Islam dengan kebaikan. RA(*)
*Diterjemahkan dari kitab Nashaihud Diniyah karya Imam Haddad dengan sedikit perubahan.