Posted on 24 March 2025
Pertama bahwa zakat adalah kotoran dari harta manusia. Dalam sebuah hadits Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
Sesungguhnya Shadaqah (nama lain zakat) tidak layak bagi keluarga Muhammad, itu tidak lain adalah kotoran-kotoran manusia. (HR Muslim)
Pernah Sayidina Hasan bin Ali radhiyallahu anhu yang masih kecil memungut kurma zakat dan memasukannya ke mulut, maka Nabi ﷺ bersabda:
كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ
Cih..cih.. Jatuhkan kurma itu, tidakkah kamu tahu bahwa kita tidak boleh memakan zakat. (HR Bukhari-Muslim)
Kedua, Ahlul bait sudah tercukupi dengan haknya dari Khumsil Khumush tanpa perlu diberi zakat. Nabi ﷺ bersabda kepada sebagian keluarga Beliau:
إِنَّ لَكُمْ فِي خُمْسِ الْخُمُسِ لَمَا يُغْنِيكُمْ أَوْ يَكْفِيكُمْ
Sesungguhnya dalam Khumsil Khumus terdapat kekayaan dan kecukupan bagi kalian. (HR Thabrani)
Yang menjadi permasalahan, bagaimana jika Ahlul Bait yang tergolong mustahiq tidak lagi mendapatkan haknya dari Khumsil Khumus seperti di masa kini? Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.
Pertama: tetap diharamkan memberikan zakat kepada mereka.
Kedua: boleh memberikan zakat kepada mereka.
Imam Nawawi dalam Raudhatuth Thalibin mengatakan:
وَلَوِ انْقَطَعَ خُمُسُ الْخُمُسِ عَنْ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ لِخُلُوِّ بَيْتِ الْمَالِ عَنِ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ، أَوْ لِاسْتِيلَاءِ الظَّلَمَةِ عَلَيْهِمَا، لَمْ يُعْطَوُا الزَّكَاةَ عَلَى الْأَصَحِّ الَّذِي عَلَيْهِ الْأَكْثَرُونَ، وَجَوَّزَهُ الْإِصْطَخْرِيُّ، وَاخْتَارَهُ الْقَاضِي أَبُو سَعْدٍ الْهَرَوِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى رَحِمَهُمُ اللَّهُ
Seandainya Khumsul Khumus terputus dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib karena kosongnya kas negara (baitul mal) dari fai’ dan ghanimah, atau karena keduanya dikuasai oleh orang-orang zalim, maka mereka (ahlul bait) tetap tidak dapat diberi zakat menurut pendapat yang paling shahih yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Akan tetapi, Imam Istukhri memperbolehkannya. Pendapat yang membolehkan itu dipilih pula oleh Abi Sa’ad Al-Harawi dan Muhammad bin Yahya rahimahumullah.
Pendapat yang mengharamkan memang kuat, akan tetapi pendapat yang memperbolehkan dapat pula diamalkan karena ulama yang memperbolehkan tidak kalah banyaknya. Imam Ba’syin dalam Busyral Karim mengatakan:
لٰكِنْ ذَهَبَ جَمٌّ غَفِيرٌ إِلَى جَوَازِهَا لَهُمْ إِذَا مُنِعُوا مِمَّا مَرَّ، وَأَنَّ عِلَّةَ الْمَنْعِ مُرَكَّبَةٌ مِنْ كَوْنِهَا أَوْ سَاخًا، وَمِنِ اسْتِغْنَائِهِمْ – بِمَا لَهُمْ مِنْ خُمْسِ الْخُمْسِ – كَمَا فِي حَدِيثِ الطَّبْرَانِيِّ وَغَيْرِهِ، حَيْثُ عَلَّلَ فِيهِ بِقَوْلِهِ: إِنَّ لَكُمْ فِي خُمْسِ الْخُمْسِ مَا يُغْنِيكُمْ. وَقَدْ مُنِعُوا مِمَّا لَهُمْ مِنْ خُمْسِ الْخُمْسِ، فَلَمْ يَبْقَ لِلْمَنْعِ إِلَّا جُزْءُ عِلَّةٍ، وَهُوَ لَا يَقْتَضِي التَّحْرِيمِ.
Akan tetapi sejumlah besar ulama berpendapat mereka (ahlul bait) boleh menerima zakat jika dicegah dari apa telah kami sebutkan (Khumsil Khumus). Sebab alasan (illat) dilarangnya mereka menerima zakat adalah terkumpulnya dua hal: Zakat adalah kotoran dan mereka tercukupi dengan Khumsil Khumus, sebagaimana disebutkan dalam Hadits Thabrani dan lainnya. Dalam hadits itu, Nabi ﷺ memberikan alasan : “Sesungguhnya dalam Khumsil Khumus terdapat apa yang dapat mencukupi kalian.” Maka ketika mereka tercegah dari Khumsil khumus, alasan yang mengharamkan tidak utuh, hanya salah satu bagian saja (yaitu keberadaannya sebagai kotoran), dan alasan yang tidak utuh tidak dapat menyebabkan keharaman.”
Jika kita mengikuti pendapat ini, hendaknya yang memberi zakat kepada ahlul bait menjelaskan kepada penerima bahwa yang diberikan ini adalah zakat, karena bisa jadi ia termasuk orang yang memiliki sifat wara sehingga tidak mau menerima zakat. Dalam Busyral Karim disebutkan:
لٰكِنْ يَنْبَغِي لِلدَّافِعِ إِلَيْهِمْ أَنْ يُبَيِّنَ لَهُمْ أَنَّهَا زَكَاةٌ، فَلَرُبَّمَا يَتَوَرَّعُ مَنْ دُفِعَتْ إِلَيْهِمْ
Akan tetapi hendaknya orang yang menyerahkan zakat kepada mereka (ahlul bait) memperjelas kepada mereka bahwa yang diberikan itu adalah zakat. Terkadang orang yang akan diberikan zakat bersifat wara (sehingga tidak mau menerimanya).
Termasuk amal yang dilakukan oleh para ahlul bait di masa kini adalah tidak melarang pemberian zakat kepada ahlul bait dan tidak pula memerintahkannya. Al-Habib Abdullah bin Muhsin Alathas memberikan jawaban ketika ditanya masalah ini:
إِنَّ عَمَلَ السَّلَفِ يُعْطُونَ أَهْلَ الْبَيْتِ مِنْهَا وَلكِنَّهُمْ لَا يَأْمُرُونَ أَحَداً بِذَلِكَ وَلَا يَنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ.
Termasuk perbuatan yang biasa dilakukan para salaf adalah mereka memberikan sebagian zakat kepada ahlul bait. Akan tetapi mereka tidak memerintahkan seorang pun untuk melakukannya dan tidak pula melarangnya. (Majmu Kalam Habib Abdullah bin Muhsin Alathas, hal 21)
Ini adalah hukum terkait pemberi zakat. Adapun bagi Ahlul Bait yang termasuk golongan mustahiq, maka ia boleh mengikuti pendapat yang membolehkan menerima zakat, akan tetapi yang lebih baik adalah bersikap wara (hati-hati) dan tidak menerima zakat kecuali jika tidak ada jalan lain untuk memenuhi keperluannya.
Perhatian: Selain zakat, yang juga tidak boleh diberikan kepada ahlul bait adalah semua harta yang wajib dikeluarkan seperti sedekah nazar, kafaroh, dam haji dan umrah, udhiyah dan akikah yang wajib, dll
Referensi Tambahan:
بغية المسترشدين /106
(مسألة: ب): اتفق جمهور الشافعية على منع إعطاء أهل البيت النبوي من الزكاة ككل واجب كنذر وكفارة، وإن منعوا حقهم من خمس الخمس، وكذا مواليهم على الأصح، واختار كثيرون متقدمون ومتأخرون الجواز، حيث انقطع عنهم خمس الخمس، منهم الاصطخري والهروي وابن يحيى وابن أبي هريرة، وعمل به وأفتى به الفخر الرازي والقاضي حسين وابن شكيل وابن زياد والناشري وابن مطير، قال الأشخر: فهؤلاء أئمة كبار وفي كلامهم قوة، ويجوز تقليدهم تقليداً صحيحاً بشرطه للضرورة وتبرأ به الذمة حينئذ، لكن في عمل النفس لا الإفتاء والحكم به اهـ. وخالفه ي فقال: لا يجوز إعطاؤهم مطلقاً، ومن أفتى بجوازها لهم فقد خرج عن المذاهب الأربعة، فلا يجوز اعتماده لإجماعهم على منعها لهم.
[فائدة]: قال الكردي: وكالزكاة في عدم صرفها لذوي القربى كل واجب كالنذر والكفارة ودماء النسك والأضحية الواجبة والجزء الواجب في المندوبة اهـ، وقوله: كالنذر أي المطلق أو المقيد بالفقراء من المسلمين مثلاً، أما المتعين لشخص أو قبيلة منهم فيصح كما يأتي تفصيله في باب النذر.