Posted on 22 July 2024
Seringkali kita mendengar hadits Nabi ﷺ, namun jarang yang memahami apa definisi dan sejarahnya. Untuk itu kami menghimpun tulisan ini dengan meringkas muqodimah tentang sunah yang ada di dalam kitab al Minhal al Lathif karya Prof as Sayid Muhammad bin Alwi al Maliki.
Definisi Hadits
Hadits secara bahasa bermakna sesuatu yang baru. Dalam Istilah muhaditsin hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi ﷺ baik berupa ucapan, perbuatan, sikap diam atas suatu hal (taqrir) atau pun sifat fisik dan akhlak. Makna ini identik dengan makna sunah menurut kalangan ilmu hadits. Sunah juga bermakna segala hal yang disandarkan kepada Nabi ﷺ, ada yang mengatakan, atau disandarkan kepada sahabat atau generasi setelahnya baik berupa ucapan, perbuatan, sikap diam mau pun sifat. Jadi hadits dan sunah nabi dalam ilmu hadits adalah dua hal yang sama.
Dari definisi di atas dapat difahami bahwa hadits bukan hanya berisi ucapan dan perbuatan Nabi ﷺ, namun juga mencakup semua sifat-sifat Nabi ﷺ baik sifat fisik atau akhlak, perjalanan hidup, peperangan dan kabar-kabar mengenai Nabi ﷺ sebelum di utus. Oleh sebab itu banyak ulama hadits yang memberikan perhatian besar pada hal-hal ini dalam kitab-kitab mereka. Ini terlihat dalam kitab-kitab Syamail yang fokus menyebutkan sifat-sifat Nabi ﷺ, Maghazi yang fokus membahas peperangan Nabi ﷺ, Khashaish yang fokus pada kekhususan-kekhususan Nabi ﷺ, dan lainnya.
Posisi hadits dalam syariat
Hadits atau sunah merupakan dasar kedua dalam pengambilan hukum syariat setelah Al-Qur’an. Wajib hukumnya untuk kembali kepada sunah dan menjadikannya sebagai sandaran hukum syariat berdasarkan perintah langsung dari Allah ﷻ Sang Pembuat Syariat Yang Maha Agung. Beberapa ayat menegaskan dengan jelas perintah itu, di antaranya :
وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَٱحۡذَرُواْۚ
Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. (QS al Maidah: 92)
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظٗا ٨٠
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (QS an Nisaa: 80)
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS al Hasyr: 7)
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (QS al Ahzab: 21)
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". (QS Ali Imran: 31)
Rasulullah ﷺ pun pernah bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا, كِتَابُ اللهِ وَسُنَّةُ نَبِيِّهِ
Aku tinggalkan bersama kalian dua hal. Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya. Kitab Allah dan sunah nabi-Nya. (HR Malik)
Mereka yang mengingkari sunah sebagai sumber hukum dan mengira dapat beramal hanya dengan Al-Qur’an saja sungguh terlalu hina untuk diladeni dan didebat. Mereka mengira berada dalam kebenaran padahal hakikatnya telah jatuh pada kebatilan. Lihat saja Al-Qur’an menyeru dengan jelas tentang ketiadaan iman bagi seoarng yang tidak mau menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai hakim atas urusannya atau yang keberatan dengan putusan hukum Nabi ﷺ. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS an Nisaa: 65)
Menjadikan Nabi ﷺ sebagai hakim tidak lain adalah merujuk kepada sunah Beliau ﷺ dalam hukum-hukum Syariat dan tunduk pada ketetapan sunah dengan hati lapang.
Sunah dan Al-Qur’an
Hubungan sunah dan Al-Qur’an yang mulia sangat erat sekali. Tugas sunah nabi adalah menafsiri Al-Qur’an yang mulia, menyingkap rahasia yang terkandung di dalamnya, menjelaskan semua yang dikehendaki Allah baik berupa perintah mau pun hukum di dalamnya. Jika kita cermati, hubungan antara sunah dan Al-Qur’an secara global mau pun terperinci teringkas dalam empat bentuk ini:
1. Adakalanya isi sunah sesuai dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Jika demikian maka sunah tersebut datang untuk mempertegas dan menetapkan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Contohnya adalah sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ اللهَ يُمْلِي لِلظَّالِمِ فَإِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ
Sesungguhnya Allah menangguhkan orang yang berbuat zalim. Dan jika Allah mengazabnyya maka Allah tidak akan melepaskannya. (HR Bukhari-Muslim)
Ini sesuai dengan firman Allah ﷻ
وَكَذَٰلِكَ أَخۡذُ رَبِّكَ إِذَآ أَخَذَ ٱلۡقُرَىٰ وَهِيَ ظَٰلِمَةٌۚ إِنَّ أَخۡذَهُۥٓ أَلِيمٞ شَدِيدٌ ١٠٢
Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (QS Hud: 102)
Contoh lainnya adalah semua hadits yang mempertegas wajibnya shalat, zakat, haji, berbakti pada orang tua, berbuat ihsan, memaafkan dan lainnya.
2. Ada kalanya hadits datang untuk memperjelas isi kandungan Al-Qur’an. Hadits semacam ini banyak ragamnya. Di antaranya adalah:
a. Sunah yang menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an yang bersifat global. Seperti hadits-hadits terkait tata cara ibadah, syarat, waktu dan bentuknya. Al-Qur’an misalnya memerintahkan shalat secara global namun tidak menyebutkan jumlah rakaat shalat, waktu dan tata-caranya. Yang menjelaskan semua itu adalah sunah.
b. Sunah yang membatasi hal yang disebutkan secara mutlak (tanpa batasan) di dalam Al-Qur’an. Seperti hadits yang menjelaskan batasan tangan dalam firman Allah ﷻ:
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) (QS al Maidah: 38)
Dalam Al-Qur’an tidak disebutkan batasan tangan yang dipotong, haditslah yang menentukan bahwa yang dimaksud adalah tangan kanan, dan yang dipotong hanya sebatas pegelangan tangan tidak sampai siku.
c. Sunah yang datang untuk mengkhususkan sesuatu yang bermakna umum di dalam Al-Qur’an. Seperti hadits yang menjelaskan makna zalim dalam ayat:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman. (QS al An`am: 82)
Makna zalim sangat umum, hampir semua orang pasti pernah berbuat zalim. Sebagian sahabat memahami ayat ini dengan makna umum sehingga sebagian mereka berkata, “Siapakah di antara kami yang tidak pernah berbuat zalim?” Maka Nabi ﷺ pun menjawab:
لَيْسَ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ
Tidak seperti itu. (zalim yang dimaksud) Itu hanyalah syirik. (HR Bukhari)
Dengan demikian menjadi jelas bahwa makna zalim dalam ayat di atas adalah makna yang lebih khusus yaitu syirik.
d. Sunah yang datang untuk menjelaskan ayat Al-Qur’an yang musykil (sulit difahami). Seperti hadits yanng menjelaskan makna dua benang dalam ayat:
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (QS al Baqarah : 187)
Sebagian sahabat menganggap yang dimaksud adalah ikatan kain putih dan ikatan hitam. Nabi ﷺ menjelaskan:
إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ
Yang dimaksud itu adalah hitamnya malam dan putihnya siang. (HR Bukhari-Muslim)
3. Ada kalanya hadits menyebutkan tentang hukum-hukum yang tidak dibicarakan di dalam Al-Qur’an. Contoh yang demikian itu sangat banyak. Di antaranya adalah hadits yang menerangkan haramnya menggabungkan antara seorang wanita dan bibinya dalam satu pernikahan, hadits tentang keharaman riba fadhl, hadits tentang keharaman daging keledai jinak, dan lainnya.
4. Ada kalanya hadits datang untuk menghapus (naskh) hukum yang ada di dalam Al-Qur’an menurut pendapat yang membolehkan penghapusan hukum Al-Qur’an dengan hadits. Contoh hadits ini juga banyak di antaranya adalah hadits:
لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Tidak boleh membuat wasiat untuk ahli warits. (HR Turmudzi dan Nasai)
Hadits ini menghapus hukum yang ada di dalam Al-Qur’an mengenai bolehnya berwasiat untuk orang tua dan kerabat. Di dalam Al-Qur’an disebutkan:
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS al Baqarah: 180)
SEJARAH PENYUSUNAN HADITS
Hadits nabi yang suci mengalami beberapa tahapan dalam penyusunannya dari awal sampai pada bentuk yang kita lihat saat ini. Setiap tahap berbeda dengan tahap sebelumnya. Tahap terpenting dalam sejarah penulisan hadits ada tiga yaitu tahap penulisan, tahap pengumpulan secara menyeluruh, dan tahap penyusunan dengan membatasi pada hadits yang shahih saja.
TAHAP PENULISAN
Nabi ﷺ memiliki perhatian besar untuk meningkatkan kemampuan baca tulis umat. Ini nampak jelas dari tindakan Beliau ﷺ dalam perang Badar. Nabi memerintahkan sebagian tawanan yang mengerti baca-tulis untuk mengajar membaca pada sepuluh anak Madinah sebagai tebusan kebebasannya. Mereka tidak dibebaskan kecuali setelah menyempurnakan pengajarannya. Kemampuan menulis ini dipergunakan untuk menulis Al-Qur’an dam mengirim surat kepada raja-raja dalam rangka mengajak kepada Islam. Beberapa sahabat ditunjuk Nabi ﷺ sebagai juru tulis.
Al-Qur’an seluruhnya ditulis di hadapan Nabi ﷺ di atas pecahan-pecahan kain, kulit, tulang dan lainnya. Namun, Beliau ﷺ melarang penulisan hadits agar tidak tertukar dengan Al-Qur’an. Ketika Al-Qur’an telah tersebar luas, telah dihafal banyak orang dan tidak ada lagi kemungkinan tertukarnya hadits dengan Al-Qur’an, barulah Nabi ﷺ mengizinkan penulisan hadits.
Mengenai larangan penulisan hadits, Sahabat Abu Said al Khudri mengatakan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
لَا تَكْتُبُوْا عَنِّي شَيْئاً غَيْرَ الْقُرْآنِ, وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْئاً غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
Jangan kalian tulis dariku selain Al-Qur’an. Siapa yang telah menulis dariku selain Al-Qur’an maka hapuslah. (HR Muslim)
Pada tahap ini, Nabi ﷺ melarang penulisan hadits dan mempercayakan hadits pada hafalan para sahabat. Namun Nabi ﷺ tetap menganjurkan menyampaikan hadits bersama dengan peringatan atas bahaya berbohong dengan Nama Nabi ﷺ.
Setelah itu, datanglah izin dari Nabi ﷺ untuk menulis hadits tertentu bagi sebagian sahabat seperti Abu Syah. Dikisahkan dalam peristiwa Fathul Mekah (pembebasan Mekah), Nabi ﷺ berkhutbah. Seorang lelaki dari Yaman yang dijuluki Abu Syah berkata, “Hai Rasulullah, tuliskanlah (khutbah) itu untukku.” Maka Nabi ﷺ bersabda:
اُكْتُبُوْا لِأَبِي شَاه
Tuliskan untuk Abu Syah. (HR Abu Dawud dan Turmudzi)
Telah datang pula izin secara umum untuk menuliskan hadits. Sahabat Abdullah bin Amr berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda:
اُكْتُبْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنْهُ إِلَّا حَقّ
Tulislah (hadits). Demi Dia yang Jiwaku dalam genggaman-Nya, tidaklah keluar darinya (mulut Nabi ﷺ) kecuali kebenaran. (HR Ahmad dan al Hakim)
Banyak sahabat memahami izin yang datang dari Nabi ﷺ ini sehingga sebagian mereka mengumpulkan hadits-hadits Nabi ﷺ dalam lembaran (shahifah) mereka. Di antara shahifah yang terkenal adalah Shahifah Sayidina Ali ra. Al Bukhari, meriwayatkan dengan sanadnya sampai Abi Juhaifah bahwa beliau berkata, “Aku berkata kepada Ali apakah di sisi anda terdapat kitab?” Sayidina Ali ra menjawab, “Tidak kecuali Kitab Allah, kefahaman yang diberikan kepada seorang lelaki muslim, dan apa yang ada dalam shahifah ini.” Ketika Abu Juhaifah menanyakan isi shahifah itu, Sayidina Ali menjawab,
اَلْعَقْلُ وَفِكَاكُ الْأَسِيْرِ وَلَا يُقْتَلُ مَسْلِمٌ بِكَافِرٍ
“Mengenai diat, membebaskan tawanan, dan tidak dibunuh seorang muslim karena membunuh orang kafir.” (HR Bukhari)
Di antara shahifah yang terkenal adalah Shahifah Shadiqoh milik sahabat Abdullah bin Amr ra. Ibnu Atsir mengatakan shahifah ini memuat seribu hadits. Shahifah lainnya dimiliki oleh sahabat Jabir bin Abdillah ra, dikatakan beliau menghafal dan memberi perhatian besar pada shahifah tersebut.
Tahap Kedua: Pengumpulan hadits secara menyeluruh
Sebagian sahabat menulis banyak hadits, di samping itu mereka juga memiliki banyak hafalan hadits dalam ingatan mereka yang kuat. Para tabiin (generasi setelah sahabat) mewarisi ilmu sahabat, meriwayatkan hadits yang dihafal dan ditulis oleh para sahabat. Pada saat Islam mulai tersebar luas, para sahabat dan tabiin berpencar di berbagai kota. Banyak di antara mereka yang gugur dalam peperangan atau sebab lainnya. Ketika itu, orang yang memiliki hafalan hadits mulai berkurang dan bakat menghafal pun mulai melemah. Hadits Nabi ﷺ mulai terancam keberadaannya karena sebab-sebab ini.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra menyadari gentingnya keadaan ini. Di Paruh pertama abad kedua Hijriyah, beliau menulis perintah kepada semua pejabat yang ada di berbagai wilayah Islam:
اُنْظُرْ مَا كَانَ مِنْ حَدِيْثِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَاكْتُبْهُ فَإِنِّيْ خِفْتُ دُرُوْسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَ الْعُلَمَاء
Perhatikan apa yang ada daripada hadits Rasulullah ﷺ dan tulislah! Sungguh aku khawatir terhapusnya ilmu dan kehilangan para ulama. (Al Bukhari)
Di antara mereka yang diperintahan adalah Muhammad bin Syihab az Zuhri yang kelak menjadi pelopor penulisan hadits. Khalifah Umar ra juga memerintahkan secara khusus qodhinya di Madinah, Abu Bakar bin Hazm untuk menulis hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al Anshari dan Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar ra.
Sejak saat itu, para ulama mulai menuliskan hadits dan menyusunnya. Penulisan ini berkembang pesat dan tersebar pada generasi setelah kurun az Zuhry. Ibnu Juraiz (w 150 H) menulis hadits di Mekah. Ibnu Ishaq (w 150 H) dan Malik (w 179 H) di Madinah. Rabi` bin Shabih (w 160 H), Said bin Abi Arubah (w 156 H) dan Hammad bin Salamah ( w 167 H) di Bashrah. Sufyan Atsauri ( w 161 H) di Kufah. Al Auzai (w 157 H) di Syam. Husyaim (w 183 H) dan Ibnu Mubarok (w 181 H) di Khurasan. Mereka semua adalah satu generasi. Tidak diketahui siapa di antara mereka yang lebih dahulu mengumpulkan hadits.
Metode mereka dalam menulis hadits adalah dengan mengumpulkan hadits-hadits yang sesuai dalam satu bab, lalu mengumpulkan bab-bab itu menjadi satu tulisan. Dalam tulisannya mereka menggabungkan hadits Nabi ﷺ, perkataan sahabat dan fatwa tabiin. Ini berbeda dengan gaya penulisan generasi pertama seperti az Zuhri, umumnya mereka mengkhususkan satu tulisan untuk mengumpulkan hanya satu bab ilmu saja. Namun sayangnya tulisan-tulisan mereka tidak ditemukan di masa ini kecuali al Muwatho karya Imam Malik ra.
Mengenai tahap penngumpulan hadits ini, Imam Syuyuthi ra mengatakan dalam Alfiyah haditsnya:
أَوَّلُ جَامِعِ الْحَدِيْثِ وَالْأَثَرْ ***اِبْنُ شِهَابٍ آمِراً لَهُ عُمَر
Yang pertama mengumpulkan hadits dan atsar adalah Ibnu Syihab (az Zuhriy) berdasarkan perintah dari Umar
Inilah permulaan penyusunan hadits secara resmi yang diperintahkan oleh pemerintahan Islam di paruh pertama abad kedua Hijriyah. Dalam tahap ini semangat menulis, mengumpulkan dan menyusun hadits bangkit dengan partisipasi banyak Ulama panutan dan ahli periwayatan.
Tahap ketiga: Penyusunan kitab shahih
Kitab-kitab yang disusun sebagai tanggapan atas perintah resmi dari Khalifah Umar ra umumnya tidak memberikan perhatian untuk membedakan hadits yang shahih atau tidak. Tidak pula diperhatikan antara nasikh dan mansukh serta keteraturan urutan dan susunannya. Ini yang membuat kitab-kitab mereka tidak bisa difahami dan diambil manfaatnya kecuali oleh para ahli. Orang yang tergesa untuk memahami hadits akan dibuat lelah menghadapi kitab-kitab tersebut.
Inilah faktor yang menggerakan semangat Imam ahli hadits, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhari ra untuk mengumpulkan sejumlah besar hadits yang shahih sanad dan matannya serta selamat dari ilat (cacat) dalam satu tulisan. Tulisan ini disusun berdasarkan bab-bab fiqih, sejarah hidup dan tafsir dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang disusun oleh para ulama hadits dalam menentukan shahihnya suatu hadits. Di antara faktor penggerak dalam penulisan ini adalah ucapan guru beliau, Ishaq bin Rahuwaih ra kepada murid-muridnya, “Andai kalian kumpulkan satu kitab berisi yang shahih saja dari sunah Rasulullah ﷺ.” Imam Bukhari di kemudian hari mengatakan, “Ucapan beliau menyentuh hatiku, maka aku pun memulai untuk mengumpulkan al Jami as Shahih.”
Setelah al Bukhari merintis pembuatan kitab shahih, bermunculanlah kitab-kitab shahih lain. Sebut saja di antaranya: Shahih Muslim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan lainnya. Mengenai tahap ini, Imam Suyuthi berkata dalam Alfiyahnya:
وَأَوَّلُ الْجَامِعِ بِاقْتِصَارِ*** عَلَى الصَّحِيْحِ فَقَطِ الْبُخَارِيْ
Orang pertama yang mengumpulkan (hadits) dengan meringkas pada yang shahih saja adalah al Bukhari.
Perhatian umat kepada sunah dan usaha keras untuk menjaganya
Umat muslim sepakat sejak zaman dahulu sampai saat ini bahwa sunah Nabi ﷺ baik berupa ucapan, perbuatan mau pun sikap diam merupakan dasar pokok dari dasar-dasar agama. Oleh sebab itu sejak masa sahabat, perhatian kepada sunah demikian besar. Para sahabat memperhatikan dengan teliti semua gerak-gerik Nabi ﷺ. Gerakan atau diamnya Nabi ﷺ dalam beribadah atau dalam kegiatan sehari-hari tidak pernah luput dari pengamatan mereka untuk diteladani. Selain itu, Nabi ﷺ juga memang menganjurkan para sahabat untuk menyampaikan semua sunahnya, Nabi ﷺ bersabda:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئاً فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنَ السَّامِعِ
Semoga Allah membuat indah wajah seorang yang mendengar dari kami sesuatu kemudian menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang ditabligh lebih dapat menjaga daripada orang yang mendengar. (HR Abu Dawud dan Turmudzi)
Semangat para sahabat untuk mendapatkan sunah dan mempelajarinya sampai pada derajat bahwa sebagian mereka ada yang bepergian jauh hanya untuk mendapatkan satu hadits. Sahabat Jabir bin Abdullah ra bepergian dari Madinah ke Syam untuk menemui Sahabat Abdullah bin Unais ra hanya untuk bertanya tentang hadits Madzalim (kedzaliman) yang terkenal. Sahabat Abu Ayub al Anshari ra bepergian dari Madinah ke Mesir hanya untuk bertanya kepada Uqbah bin Amir ra tentang hadits:
مَنْ سَتَرَ عَلَى مُؤْمِنٍ فِي الدُّنْيَا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَة
Siapa yang menutupi (aib) seorang mukmin di dunia maka Allah akan menutupi (aib) nya di Akhirat.
Hasil dari semangat yang agung ini adalah munculnya kalangan muktsir, yaitu kalangan yang meriwayatkan lebih dari seribu hadits. Mereka adalah Sahabat Abu Said al Khudri, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas, Ibnu Abbas, Jabir dan Aisyah ummul mukminin radhiallahu anhum ajmain.
Para Tabiin pun mewarisi semangat para sahabat untuk mendapatkan sunah Nabi ﷺ. Ini dapat dilihat dalam biografi-biografi mereka yang tertera dalam berbagai kitab sejarah.
Lalu setelah itu datanglah tahap penting dalam menjaga sunah untuk mengekalkannya dalam keadaan murni dari tangan jahil, distorsi kaum menyimpang, dan dusta. Kerja keras para ulama muslim untuk mewujudkan hal ini sejak masa silam sampai sekarang sangat luar biasa, patut disyukuri, dan tidak terlupakan. Mereka memiliki metode berlainan sesuai dengan masanya, namun ada satu kaidah yang tidak pernah berubah yaitu meneliti dengan sungguh-sungguh kebenaran suatu hadits yang diterima. Kaidah ini dilakukan sejak masa sahabat. Beberapa bukti penerapan kaidah ini di kalangan sahabat di antaranya:
1. Kisah Sahabat Mughirah ketika berkata pada Sayidina Abu Bakar: “Sesungguhnya nenek mendapatkan seperenam (dari warisan).” Sayidina Abu Bakar ra memerintahkannya untuk menghadirkan saksi, Mughirah pun menghadirkan Muhammad bin Maslamah sebagai saksinya. (HR Abu Dawud)
2. Kisah Sahabat Abu Musa bersama Sayidina Umar bin Khathab mengenai salam. Bahwa jika mengucapkan salam tiga kali namun tidak dijawab penghuni rumah hendaknya ia pulang, Sayidina Umar memerintahkannya untuk menghadirkan saksi, lalu Abu Musa mendatangkan saksinya. (HR Muslim)
Ketelitian dalam menilai kebenaran suatu hadits sampai pada derajat bahwa para ahli hadits mensyaratkan dua hal pada periwayat hadits, Adil (berprilaku Islami) dan Dhabt (memiliki ketajaman hapalan atau memiliki tulisan). Dua hal ini harus ada dan tidak terpisahkan. Imam Malik ra pernah berkata, “Aku mendapati tujuh puluh orang yang berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda..’ Seandainya satu dari mereka diserahi amanah baitul mal, mereka akan menjaga amanah itu. Namun aku tidak mengambil hadits dari mereka karena mereka tidak termasuk orang yang ahli dalam periwayatan. (Tamhid)
Kemudian metode penyusunan hadits senantiasa berkembang pesat. Di antara hasil dari kemajuan itu adalah munculnya kaidah-kaidah untuk menimbang sanad hadits dan matannya. Seperti aturan tidak boleh mengambil riwayat dari pembohong, orang fasik, ahli bidah (kecuali dengan syarat khusus). Juga keharusan bersambungnya sanad dari awal sampai akhir dan lainnya.
Hasil dari metode ini juga adalah munculnya ilmu Musthalah Hadits, yang berisi kanun tentang kaidah-kaidah untuk menerima dan menolak suatu hadits, menjelaskan jenis-jenis sanad dan tingkatan perawi, tata cara penerimaan riwayat, istilah lafadz yang digunakan dalam periwayatan dan lainnya. Yang pertama menulis masalah ini adalah al Qodhi ar Romahurmuzi (w 360 H). Setelah beliau maka bermunculan kitab-kitab yang membahas ilmu ini sampai akhirnya Imam Ibnu Sholah menulis kitab Muqodimahnya yang terkenal. Semua ulama setelah beliau menulis dengan menjadian Muqodimah tersebut sebagai rujukan.
Hasil lain dari kerja keras para ulama adalah penyusunan kitab shahih. Shahih Bukhari dan Muslim merupakan contoh hasil gemilang dari kerja keras ini. Berpuluh tahun Imam Bukhari menyelesaikan kitabnya, mengerahkan segala kemampuan untuk mengumpulkan hadits shahih, membersihkannya dan meneliti kembali sampai akhir.
Selain itu, muncul pula ilmu Jarh wat Ta`dil, ilmu tentang cacat dan keunggulan periwayat hadits. Az Dzahabi mengatakan dalam Muqoddimahnya bahwa orang pertama yang memperhatian masalah ini adalah Imam Yahya bin Said al Qothon. Kemudian murid-murid beliau mengikuti jejaknya seperti Yahya bin Muin, Ali bin al Madyani, Ahmad bin Hanbal, Amr bin Al Falas, Abu Khaitsamah. Kemudian diteruskan oleh murid-murid mereka, diantaranya Abu Zurah, Abi Hatim, Bukhari, Muslim, Abi Ishaq al Jauzajani dan banyak ulama lain setelah mereka seperti an Nasai, Ibnu Khuzaimah, Turmidzi, Dullabi, Uqaili dan lainnya. Kitab paling kuno dalam bab ini yang disebutkan dalam Kasyf Dzunun adalah kitab al Jarh wat Tadil karya Abil Hasan Ahmad bin Abdullah al Ijli, kemudian al Jarh wat Tadil karya Abi Muhammad Abdurahman bin Abi Hatim ar Razi.
Perhatian ulama untuk menjaga hadits dengan mempelajari ihwal kepribadian para perawi teramat besar. Ini dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab mereka yang memfokuskan pembahasannya terkait keadaan perawi secara khusus. Sebagian mereka ada yang menulis kitab khusus berisi para perawi yang dhaif (lemah) seperti kitab ad Dhuafa karya al Bukhari, ad Dhuafa karya an Nasai, ad Dhuafa karya al Uqaili, ad Dhuafa karya ad Daruqutni, Mizanul Itidal karya ad Dzahabi, Lisanul Mizan karya Ibnu Hajar, al Majruhin karya Muhammad bin Hibban, dan lainnya.
Ada pula yang mengkhususkan kitabnya untuk mengumpulkan para perawi yang tsiqot (terpercaya) seperti kitab At Tsiqot karya Ibnu Hibban, at Tsiqot Mimman Lam Yaqo Fi Kutubis Sittah karya Zainuddin Qosim bin Quthlubugho, at Tsiqot karya al Khalil bin Syahin, at Tsiqot karya al Ijli, dan lainnya.
Ada pula kitab yang mengumpulkan keduanya seperti Tarikh karya Bukhari, Tarikh karya Ibnu Abi Khaitsamah, Jarh wat Tadil karya Ibnu Abi Hatim dan lainnya. Masih banyak kitab-kitab ulama yang khusus membahas keadaan para perawi apakah ia dipercaya atau lemah.
Termasuk kerja keras ulama yang patut disyukuri adalah usaha keras mereka untuk menyingkap hadits maudhu, dhaif dan masyhur. Sebagian mereka menyingkap melalui penelitian kepada perawinya, jadi mereka menyebutkan para pendusta dan pembuat hadits palsu lalu menyebutkan hadits-hadits palsu yang mereka buat. Ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab Jarh wat Tadil. Sebagian yang lain menyingkap hadits palsu dengan secara langsung menyebutkan hadits-hadits palsunya dan alasan kepalsuannya. Kitab-kitab yang membahas masalah ini mencapai sekitar empat puluh kitab yang dikarang oleh para ulama masa silam yang ahli dalam ilmu hadits.
Demikianlah perhatian tulus para ulama untuk menjaga sunah dan meriwayatkannya sehingga hadits-hadits Nabi ﷺ bisa sampai kepada kita, generasi yang terpaut belasan abad dari Rasulullah ﷺ. Mereka berkerja keras untuk menghafal, dan membersihkan hadits dari campuran kedustaan dan tangan jahil. Ini adalah kerja keras yang luar biasa dan siapa pun tidak dapat berlaku lain kecuali menunduk untuk menghormatinya seraya mengakui bahwa kalau bukan karena Taufiq Allah tidak mungkin manusia dapat melakukan hal luar biasa ini. RA(*)