Posted on 03 August 2024
Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam kitab beliau Al-Fushul Al-Ilmiyah, menjelaskan dalam Fasal ke-25 tentang cara bersikap terhadap orang yang memiliki nasab mulia. Berikut ini terjemahan dari kalam beliau:
Tidak
semestinya, seorang tokoh yang menjadi panutan mengagungkan dan memuji orang
bodoh, walaupun ia memiliki nasab mulia dan datuk-datuk yang saleh. Pengagungan
dan pujiannya secara terang-terangan dapat menimbulkan fitnah dalam agamanya,
membuatnya terpedaya tentang Allah, enggan beramal saleh, dan lalai menyiapkan
bekal akhirat. Yang memuliakan serta memujinya itu penyebab ia terjerumus dalam
fitnah dan terpedaya dengan agamanya, ia bagaikan orang yang berusaha
membinasakannya. Karena sebab perbuatannya, ia berhak mendapatkan kemurkaan
dari Allah, Rasul-Nya serta para salafus saleh yang mana orang bodoh tersebut
bernasab kepadanya dan menjadi mulia karena mereka.
Bagaimana ia dapat terpedaya dengan kemuliaan nasab tanpa ketakwaan dengan hanya mengandalkan nasabnya saja setelah mendengar sabda Rasulullah ﷺ:
يا فاطمة بنت محمد لا أغني عنك من الله شيئا
Wahai Fatimah binti Muhammad, aku tidak dapat mencukupimu dari (adzab) Allah dengan sesuatu apapun. (Hadits Shahih)
Dalam hadits itu juga disebutkan :
“Wahai Bani Abdul Muthalib, wahai Fulan.. Wahai Fulan..” Beliau menyebut kerabatnya ﷺ secara umum kemudian memerincinya.
Bahaya Pujian Bagi Orang Bodoh
Bahaya pujian dan fitnahnya bagi orang bodoh teramat besar. Pernah ada seorang memuji orang lain di sisi Rasululah ﷺ, maka Beliau ﷺ bersabda:
ويلك قطعت عنق أخيك لو سمعها ما أفلح
Celaka engkau! Engkau telah memutus leher saudaramu. Andai ia mendengar, ia tidak akan beruntung. (Al-Hadits)
Rasulullah ﷺ bersabda:
لأن يمشي أحدكم إلى أخيه بسكين مرهف خير له من أن يثني عليه في وجهه
Andai seorang dari kalian berjalan menuju saudaranya dengan membawa pisau tajam, itu lebih baik daripada menyanjung di hadapan mukanya.
Yang berbahaya adalah pujian dan sanjungan bagi orang bodoh yang terpedaya, yang tidak memiliki pemahaman dalam agama, tidak mengenal Tuhannya, tidak pula memiliki keyakinan.
Pujian Bagi Orang Berilmu
Adapun bagi orang yang memiliki pemahaman, mengenal Tuhannya serta mengenal dirinya sendiri, maka pujian tidak akan menimbulkan bahaya baginya. Rasulullah ﷺ pernah memuji beberapa sahabatnya, dan mereka pernah dipuji di hadapan Beliau ﷺ, namun pujian tidak menambah apapun selain makfirat, pemahaman agama Allah, kesungguhan, serta ketekunan dalam ketaatan dan ibadahnya.
Dalam hadits disebutkan :
إذا مدح المؤمن ربا الإيمان في قلبه
Jika seorang mukmin dipuji, maka bertambahlah iman dalam hatinya.
Akan tetapi mereka yang memiliki pemahaman dan peduli pada dirinya teramat sedikit jumlahnya, terutama di zaman ini. Sedangkan mereka yang bodoh dan tertipu banyak jumlahnya. Maka hendaknya seorang mukmin yang berakwa kepada Tuhannya serta sayang pada agamanya berhati-hati, jangan sampai ia melakukan segala hal yang dapat membahayakan diri atau saudaranya sesama muslim.
Benarkah Maksiat Tidak Berbahaya Bagi Ahlul Bait?
Memang terkadang terucap dari lidah sebagian orang, ketika dikatakan padanya, “ Fulan yang merupakan Ahlul Bait Nabi melakukan berbagai perbuatan maksiat serta merusak.”
Mereka lantas berkata, “Mereka adalah Ahlul Bait Rasulullah ﷺ, Rasulullah akan memberikan syafaatnya bagi mereka. Mungkin dosa-dosa tidak berbahaya bagi mereka.”
Ini adalah ucapan yang buruk dan berbahaya bagi diri pengucapnya serta bagi orang lain yang tidak berilmu. Bagaimana seorang bisa berkata demikian, padahal dalam Kitabullah yang mulia terdapat keterangan bahwa Ahlul Bait akan dilipatgandakan pahala kebaikannya serta dilipatgandakan pula siksa atas perbuatan buruknya, sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah ﷻ:
يَانِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ
“Wahai istri-istri Nabi! Barang siapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azab-Nya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya.” (QS. Al-Ahzab : 30) Dan juga ayat setelahnya.
وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا
Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia. (QS Al-Ahzab : 31)
Istri Nabi ﷺ termasik ahlul bait Nabi ﷺ
Siapa yang berkata, atau mengira bahwa meninggalkan perbuatan taat serta melakukan maksiat tidak berbahaya bagi seseorang karena kemuliaan nasabnya, atau kebaikan leluhurnya, maka sungguh ia telah berdusta atas Allah dan menyelisihi kesepakatan umat Islam.
Kemuliaan Ahlul Bait
Akan tetapi, memang di dalam Ahlul Bait Rasulullah ﷺ terdapat kemuliaan. Rasulullah ﷺ memberikan perhatian lebih terhadap mereka. Beliau ﷺ banyak mewasiatkan umatnya untuk bersikap baik kepada mereka, dan mengajak untuk cinta dan sayang terhadap mereka. Dengan itu pula, Allah ﷻ memerintahkan dalam Kitab –Nya, yaitu dalam firman-Nya ﷻ:
قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى
Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan". (QS As-Syura: 23)
Maka sudah seharusnya setiap muslim meyakini kecintaan dan sayang terhadap mereka, menghormati dan memuliakan mereka dengan tanpa berlebihan dan melampaui batas.
Sikap Terhadap Ahlul Bait Yang Mengikuti Jejak Pendahulunya
Jika di antara para Sadah Ahlul Bait terdapat orang yang memiliki sifat yang sama atau mendekati sifat-sifat mulia para pendahulunya yang saleh, serta berada di atas jalan mereka yang benar, maka ia adalah imam panutan yang cahaya petunjuknya bisa dijadikan pedoman, serta jejak langkahnya dapat dijadikan teladan sebagaimana datuk-datuk mereka yang diberi petunjuk. Di antara mereka, terdapat para imam yang terdahulu semisal Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib; Hasan dan Husain yang merupakan kedua cucu Rasulullah ﷺ; Jakfar At-Thayyar, Pemimpin para syuhada Hamzah, guru umat Abdullah bin Abbas serta ayahnya Al-Abbas yang tiada lain adalah paman Rasulullah ﷺ, dan juga Imam Zainal Abidin Ali bin Husain, Imam Baqir serta putranya Imam Jakfar As-Shadiq alaihimussalam, serta para imam yang semisal mereka dari kalangan salaf keluarga yang suci ini serta penerusnya
Sikap Terhadap Ahlul Bait Yang Tidak Mengikuti Jejak Pendahulunya
Adapun jika di antara Ahlul Bait ada yang menempuh jalan yang tidak sama dengan jalan para salaf mereka yang suci. Mereka telah dimasuki hal yang merusak karena sebab kebodohan yang menguasi mereka. Maka hendaknya mereka tetap dimuliakan dan dihormati dengan memandang hubungan kekerabatannya dari Rasulullah ﷺ. Akan tetapi, orang yang memiliki kecakapan dalam memberi nasihat jangan enggan untuk menasihati mereka, mengajak untuk berperilaku sesuai dengan jalan para salafnya yang saleh, yaitu dengan membekali diri dengan ilmu, amal saleh, akhlak mulia, dan jalan hidup yang benar. Katakan kepada mereka bahwa mereka lebih layak dan lebih pantas melakukan semua itu dibandingkan orang lain. Nasab saja tidak bermanfaat dan tidak dapat mengangkat martabatnya jika ia mengabaikan ketakwaan, fokus terhadap urusan duniawi, meninggalkan ketaatan, dan mengotori diri dengan kotoran dosa.
Sejumlah penyair telah memahami hal ini, terlebih para imam dan ulama. Sehingga sebagian mereka berkata :
لعمرك ما الإنسان إلا ابن دينه ... فلا تترك التقوى اتكالا
على النسبْ
فقد رفع الإسلامُ سلمانَ فارس ... وقد وضعَ الشركُ الحسيبَ أبا لهبْ
Demi Umurmu, manusia tidak lain adalah putra agamanya. Maka jangan kau tinggalkan takwa dengan mengandalkan nasab saja.
Islam telah meninggikan Salman yang berbangsa persia, dan syirik telah menghinakan Abu Lahab yang bernasab mulia.
Al-Mutanabi berkata:
إِذَا لَمْ تَكُنْ نَفْسُ الشَّرِيفِ كَأَصْلِهِ *** فَمَاذَا الَّذِي تُغْنِي رِفَاعُ الْمَنَاصِبِ
Jika seorang keturunan mulia tidak seperti leluhurnya, maka apalah artinya ketinggian nasab mulianya itu?
Penyair lain berkata:
وما ينفع الأصلُ من هاشمٍ ... إذا كانت النفسُ من باهِلَهْ
Tiada gunanya memiliki nasab yang berasal dari Hasyim, jika jiwanya tidak beda dengan jiwa kaum Bahilah (satu kabilah yang dipandang rendah oleh kaum Arab)
Keturunan Orang Saleh
Masalah keturunan orang saleh tidak berbeda dengan masalah Ahlul Bait Nabi, dalam artian bahwa siapa di antara mereka yang memiliki keadaan yang sama dengan pendahulunya yang saleh, maka ia termasuk orang saleh sebagaimana pendahulunya. Ia berhak dimuliakan dan diambil keberkahannya. Sedangan apabila ia berada dalam kebodohan dan kelalaian, maka semestinya ia dinasihati dan dibimbing ke jalan yang benar, dengan tetap memberikan sebagian sikap hormat karena memandang pendahulunya yang saleh. Bagaimana tidak demikian, padahal Allah ﷻ telah berfirman mengenai dua pemuda dan dinding (dalam kisah Khidir):
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. (QS Al-Kahfi : 82)
Telah sampai pada kami bahwa yang dimaksud dengan ayahnya di sini adalah datuknya yang ketujuh dari pihak ibu. Kedua pemuda itu dijaga dalam harta duniawi (karena sebab datuknya itu), terlebih dalam urusan akhiratnya.
Maka hendaknya engkau mengetahui dan memahami ini. Letakkan segala sesuatu pada tempatnya. Berikan kepada setiap orang haknya. Dan mintalah pertolongan kepada Allah, maka engkau akan berbahagia dan diberi petunjuk. Segala urusan adalah milik Allah.RA (*)