Posted on 17 September 2025
Dalam catatan para ulama, ada satu kisah yang sarat hikmah tentang makna sejati dari kemuliaan manusia. Kisah ini berawal dari pertemuan seorang syarif —keturunan Nabi Muhammad ﷺ dari jalur Sayyidah Fathimah az-Zahra— dengan seorang wali besar bernama Syekh Yaqut al-‘Arsyi rahimahullah, murid dari Abu al-‘Abbas al-Mursi dan sahabat sezaman Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari.
Dikisahkan bahwa syarif tersebut dikenal rupawan, berasal dari keturunan mulia, dan bangga dengan garis nasabnya. Suatu hari ia melihat Syekh Yaqut dikerumuni orang banyak. Mereka berebut menyentuh jubahnya, mencium tangannya, dan mengambil berkah darinya.
Melihat pemandangan itu, ia pun heran sekaligus tersinggung. Ia berkata kepada Syekh Yaqut:
“Wahai Syekh Yaqut, sungguh mengherankan! Engkau berkulit hitam, berhidung pesek, rambut keriting, anggota tubuhmu tidak sempurna, tidak diketahui nasabmu, bahkan dahulu engkau seorang budak. Tetapi kini, orang-orang mengerumunimu, menghormati, dan memuliakanmu. Apa rahasia semua ini, sementara aku—dengan segala kemuliaan nasab dan ketampanan—justru tidak mendapatkan perlakuan seperti itu?”
Syekh Yaqut menatapnya dengan penuh hikmah lalu menjawab:
“Benar, engkau memiliki nasab yang mulia, sebagaimana yang engkau sebutkan. Namun manusia melihatku berusaha meneladani akhlak kakekmu, Rasulullah ﷺ. Karena itulah mereka mencintaiku dan menghormatiku, sebagai bentuk penghormatan mereka pada beliau ﷺ. Sedangkan mereka melihatmu berakhlak seperti kakekku (yaitu budak), maka mereka pun takut dan menjauh darimu.”
Jawaban ini menyentuh hati sang syarif. Ia tersentak, menangis, lalu bertaubat. Sejak saat itu ia menjadi murid Syekh Yaqut dan menempuh jalan spiritual di bawah bimbingannya.
Kisah ini menyadarkan kita tentang sumber kemuliaan sejati. Ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah ini:
Menjadi keturunan Nabi ﷺ adalah sebuah kemuliaan agung. Namun, tanpa akhlak yang sesuai dengan Beliau ﷺ, kemuliaan itu bisa pudar di mata manusia. Identitas tidak cukup tanpa integritas.
Syekh Yaqut, dengan segala kekurangan fisik dan latar belakang sosialnya sebagai bekas budak, justru dihormati karena akhlak dan ketakwaannya. Dunia modern yang sering terjebak dalam penampilan dan status sosial, perlu kembali belajar bahwa akhlak adalah daya tarik yang sesungguhnya.
Allah menutup pintu keutamaan bagi kesombongan nasab, fisik, atau status sosial. Sebaliknya, Allah membuka pintu kemuliaan seluas-luasnya bagi siapa saja yang berakhlak mulia, tanpa memandang ras, warna kulit, atau keturunan.
Sebagaimana firman Allah ﷻ:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Hari ini kita hidup di tengah masyarakat yang sering menilai orang dari apa yang tampak: gelar, keturunan, kekayaan, jabatan, atau fisik. Padahal, kemuliaan sejati bukan diukur dari itu semua, melainkan dari akhlak, ketakwaan, dan kontribusi nyata terhadap sesama.
Kisah Syekh Yaqut adalah sebuah pengingat bahwa siapa pun bisa menjadi mulia—asal meneladani akhlak Rasulullah ﷺ. Dan sebaliknya, siapa pun bisa terhina, meski berasal dari garis keturunan mulia, jika ia berakhlak buruk.
Kemuliaan bukanlah warisan, melainkan perjuangan. Ia bukan terletak pada warna kulit, nasab, atau status sosial, melainkan pada sejauh mana kita berhasil menanamkan akhlak Nabi ﷺ dalam diri kita. RA(*)