Antara Ilmu Zahir, Bimbingan Mursyid, dan Jalan Para Sufi

Posted on 17 August 2025


Kita yang hidup di akhir zaman sering kali bertanya-tanya: apakah cukup menempuh jalan ilmu agama hanya dengan membaca kitab, memahami teks, dan mengandalkan logika, tanpa perlu seorang guru rohani (mursyid) yang membimbing perjalanan spiritual?

Jawaban atas pertanyaan ini ternyata sudah lama ditegaskan oleh para ulama besar.

Imam al-Ghazali, sang Hujjatul Islam, dan Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam, sang Sulthanul-‘Ulama’, keduanya adalah sosok yang diakui sebagai lautan ilmu. Namun, keduanya justru menegaskan bahwa ilmu zahir saja tidak cukup untuk membuka tabir menuju Allah, tanpa ditempuh dengan suluk (perjalanan ruhani) di bawah bimbingan mursyid.

Imam ‘Abdul Wahhab al-Sya‘rani menukil dalam al-Minan al-Kubra:

وَلَوْ أَنَّ طَرِيقَ القَوْمِ يُوصِلُ إِلَيْهَا بِالفَهْمِ مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ يُسَيِّرُ بِالطَّالِبِ فِيهَا، لَمَا احْتَاجَ مِثْلُ حُجَّةِ الإِسْلَامِ الإِمَامِ الغَزَالِيِّ، وَالشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ، أَخْذَ أَدَبِهِمَا عَنْ شَيْخٍ، مَعَ أَنَّهُمَا كَانَا يَقُولَانِ قَبْلَ دُخُولِهِمَا طَرِيقَ القَوْمِ: "كُلُّ مَنْ قَالَ إِنَّ ثَمَّ طَرِيقًا لِلعِلْمِ غَيْرَ مَا أَبْدَيْنَاهُ، فَقَدِ افْتَرَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ".

فَلَمَّا دَخَلَا طَرِيقَ القَوْمِ كَانَا يَقُولَانِ: "قَدْ ضَيَّعْنَا عُمُرَنَا فِي البَطَالَةِ وَالحِجَابِ". وَأَثْبَتَا طَرِيقَ القَوْمِ وَمَدَحَاهَا.

وَقَدْ سَلَكَ الإِمَامُ الغَزَالِيُّ عَلَى الشَّيْخِ أَبِي مُحَمَّدٍ البَازِغَانِيِّ، وَسَلَكَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ عَلَى الشَّيْخِ أَبِي الحَسَنِ الشَّاذِلِيِّ، وَصَارَ يَقُولُ: "مِمَّا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ القَوْمَ قَعَدُوا عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ، وَقَعَدَ غَيْرُهُمْ عَلَى الرُّسُومِ، مَا يَقَعُ عَلَى أَيْدِيهِمْ مِنَ الكَرَامَاتِ وَالخَوَارِقِ، وَلَا يَقَعُ ذَلِكَ عَلَى يَدِ فَقِيهٍ إِلَّا إِنْ سَلَكَ طَرِيقَهُمْ

Seandainya jalan kaum sufi bisa ditempuh hanya dengan logika dan pengetahuan intelektual, tanpa guru mursyid yang membimbing, tentu Imam al-Ghazali dan Syaikh ‘Izzuddin tidak akan membutuhkan bimbingan seorang guru.

Faktanya, Imam al-Ghazali berguru sulūk kepada Syekh Abu Muḥammad al-Bazighani, sementara Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam menempuh jalan ruhani di bawah bimbingan Syaikh Abu al-Ḥasan al-Syadzili.

Keduanya pernah berkata sebelum masuk ke jalan kaum sufi:

“Siapa saja yang mengatakan ada jalan menuju ma‘rifat selain jalan yang kami tempuh (yakni ilmu fikih dan teks semata), maka ia telah berdusta atas nama Allah.”

Namun, setelah masuk ke jalan thariqah, mereka justru berkata:

“Sungguh, kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan dalam keadaan terhalang dari Allah.”

Syaikh ‘Izzuddin bahkan menegaskan:

“Bukti bahwa kaum sufi benar-benar berdiri di atas pondasi syariat, sedangkan selain mereka hanya berpegang pada formalitas, adalah munculnya karamah dan kejadian luar biasa pada diri para sufi. Dan itu tidak akan tampak pada ahli fikih, kecuali jika mereka ikut menempuh jalan kaum sufi.” (al-Minan al-Kubra, juz 1, hlm. 25)

Dari sini kita bisa menarik pelajaran berharga: agama bukan hanya kumpulan teori, hafalan, dan logika semata. Ada dimensi ruhani yang hanya bisa dihidupkan dengan bimbingan seorang mursyid yang mewarisi cahaya para Nabi.

Tanpa guru, ilmu bisa membuat sombong. Dengan guru, ilmu akan berubah menjadi cahaya yang menuntun pada Allah.RA(*)