Posted on 08 September 2025
Salah satu tanda kesempurnaan akal dan kejernihan visi Nabi Muhammad ﷺ adalah kecermatan beliau dalam memilih para utusan. Beliau tidak sembarang menunjuk orang untuk menjadi diplomat menghadap raja-raja, melainkan mengutus pribadi-pribadi yang cerdas, berakal, fasih, dan berwibawa. Para utusan ini ditugaskan untuk membawa risalah Islam kepada para penguasa dan raja, dengan bekal hujjah yang masuk akal dan hikmah yang dapat diterima. nSebab, tugas mereka bukan sekadar menyampaikan surat, tetapi mewakili wajah Islam di hadapan para penguasa dunia, membela risalah dengan hujjah yang rasional, serta menggetarkan hati lawan bicara dengan kata-kata yang bijak dan berwibawa.
Sejarah mencatat, para duta Rasulullah ﷺ tampil memukau di hadapan para raja. Mereka tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga mengukuhkan risalah dengan argumentasi yang kuat, penyampaian yang indah, dan keberanian yang menggetarkan hati.
Al-‘Ala bin al-Hadhrami dan Raja al-Mundzir
Suatu ketika, Rasulullah ﷺ mengutus al-‘Ala bin al-Ḥadhrami kepada al-Mundzir bin Sawa, seorang penguasa yang disegani, dengan membawa sepucuk surat dakwah. Ketika tiba di hadapan sang raja, al-‘Ala menyampaikannya dengan penuh hikmah:
“Wahai Mundzir, engkau adalah orang yang besar akalnya, maka janganlah engkau merendahkannya di akhirat.
Sesungguhnya agama Majusi adalah seburuk-buruk agama; tidak ada penghormatan untuk bangsa Arab di dalamnya, dan tidak ada pengetahuan dari Ahli Kitab. Mereka menikahi apa yang manusia malu menikahinya (kaum Majusi memperbolehkan menikahi mahram seperti ibu, putri, dan saudari), mereka memakan apa yang manusia enggan memakannya, dan mereka menyembah api di dunia, padahal api itu akan memakan mereka di akhirat.
Engkau bukanlah orang yang tidak memiliki akal dan pandangan. Maka renungkanlah, apakah pantas seseorang yang tidak pernah berdusta engkau dustakan? Apakah pantas seseorang yang tidak pernah berkhianat engkau curigai? Apakah pantas seseorang yang tidak pernah mengingkari janji engkau ragukan?”
Lalu ia menegaskan bahwa Nabi ﷺ adalah pribadi yang konsisten, tidak mungkin apa yang beliau larang justru beliau perintahkan, atau sebaliknya. Semua perintah dan larangan beliau sesuai dengan akal sehat dan pemikiran yang dalam.
Sang raja pun tergugah dan berkata:
“Aku telah meneliti agama Majusi, dan aku dapati ia hanya untuk dunia, tanpa akhirat. Lalu aku meneliti agamamu, dan aku dapati ia untuk dunia sekaligus akhirat.
Maka apa yang menghalangiku untuk menerima agama yang menjanjikan kebahagiaan hidup dan ketenangan mati?
Sungguh, aku kemarin heran kepada orang yang menerimanya, dan hari ini aku heran kepada orang yang menolaknya. Karena agama ini benar-benar masuk akal.
Dan sesungguhnya mengagungkan agama ini berarti juga mengagungkan utusannya. Aku akan mempertimbangkan langkahku.”
Yakni beliau akan mempertimbangkan apakah akan pergi langsung menemui Rasulullah ﷺ, atau menulis surat kepadanya. Bukan ragu untuk masuk Islam atau tidak—sebab ucapan beliau ‘aku heran kepada orang yang menolaknya’ adalah pengakuanku bahwa agama ini adalah agama yang benar.
Kisah al-Muhajir bin Umayyah dan Raja Ḥimyar
Rasulullah ﷺ mengutus al-Muhajir bin Umayyah al-Makhzumi, saudara Ummu Salamah Ummul Mu’minin kepada al-Harith bin ‘Abd Kallal, seorang raja Himyar. Ketika tiba di hadapan raja, al-Muhajir menyampaikan sebuah nasihat yang penuh kekuatan retorika:
“Wahai Harith, engkau adalah orang pertama yang ditawarkan oleh al-Musthafa (yakni Nabi ﷺ) dakwahnya, namun engkau berpaling darinya. Engkau adalah raja yang paling agung kedudukannya. Jika engkau memperhatikan kekuasaan para raja, maka perhatikanlah pula siapa yang mengalahkan para raja itu. Jika engkau bergembira dengan harimu, maka takutlah pada esokmu.
Sesungguhnya telah ada raja-raja sebelum engkau; jejak mereka telah lenyap, tetapi kisah mereka tetap tersisa. Mereka hidup panjang umur, berangan-angan jauh, tetapi hanya berbekal sedikit. Ada yang dijemput kematian, ada pula yang dibinasakan oleh hukuman.
Maka aku mengajakmu kepada Tuhan yang, jika engkau menghendaki petunjuk, Dia tidak akan menghalangimu; dan jika Dia menghendakimu, maka tidak ada seorang pun yang dapat menghalangimu dari-Nya. Dan aku mengajakmu kepada Nabi yang ummi, yang tidak ada sesuatu yang lebih indah dari apa yang beliau perintahkan, dan tidak ada sesuatu yang lebih buruk dari apa yang beliau larang.”
Al-Muhajir menutup dengan sebuah peringatan:
“Ketahuilah, engkau memiliki Tuhan yang
يُمِيتُ الْحَيَّ وَيُحْيِي الْمَيِّتَ وَيَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
‘(Dialah Allah yang) mematikan yang hidup dan menghidupkan yang mati,
dan mengetahui pengkhianatan mata serta apa yang disembunyikan oleh dada.’
(QS. Ghafir: 19).
Dialog Hathib bin Abi Balta‘ah dengan Raja Muqawqis
Ketika Rasulullah ﷺ mengutus Ḥathib bin Abi Balta‘ah sebagai duta beliau ke istana Muqawqis, penguasa Aleksandria (Mesir). Ḥathib membawa surat Rasulullah ﷺ yang berisi ajakan masuk Islam. Sang raja menyambutnya dengan ramah, menempatkannya di istana, dan setelah beberapa hari mengundangnya dalam sebuah majelis besar bersama para pembesar kerajaannya.
Di hadapan mereka, Muqawqis berkata kepada Ḥathib:
“Aku ingin berbicara denganmu. Katakan padaku tentang sahabatmu. Bukankah dia seorang nabi?”
Ḥathib menjawab tegas:
“Benar, dia adalah Rasulullah.”
Muqawqis lalu bertanya:
“Kalau begitu, mengapa ia tidak berdoa untuk membinasakan kaumnya, padahal mereka telah mengusirnya dari kampung halamannya?”
Ḥathib dengan cerdas membalik logika sang raja:
“Bukankah engkau bersaksi bahwa ‘Isa putra Maryam adalah Rasulullah?”
Muqawqis mengiyakan.
Ḥathib lalu melanjutkan:
“Kalau begitu, mengapa ketika kaumnya hendak menyalibnya, ia tidak berdoa agar Allah membinasakan mereka, hingga akhirnya Allah mengangkatnya ke langit?”
Seketika Muqawqis terdiam, lalu berkata:
“Engkau benar. Engkau adalah orang bijak yang datang dari seorang bijak.”
Sebagai tanda penghargaan, ia menghadiahkan beberapa barang untuk Rasulullah ﷺ, termasuk tiga budak perempuan. Salah satunya kelak menjadi Umm Ibrahim, ibu dari putra Rasulullah ﷺ yang bernama Ibrahim. Dua lainnya diberikan oleh Nabi ﷺ kepada sahabat-sahabat beliau.
Kisah-kisah ini lebih dari sekadar catatan sejarah. Mereka adalah pionir diplomasi Islam—model bagaimana kata-kata yang berakar pada kebenaran, logika, dan akhlak bisa lebih tajam dari pedang. Di masa kini diplomasi sering kali terjebak pada kepentingan politik, ekonomi, atau militer. Namun, Nabi ﷺ menanamkan prinsip bahwa diplomasi harus berangkat dari nilai moral, kejujuran, dan penghormatan pada akal sehat manusia.
Para utusan beliau bukan sekadar pembawa surat, melainkan duta peradaban yang membawa Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Islam masuk ke hati banyak raja dan bangsawan bukan dengan pedang,
tetapi dengan akal sehat, argumentasi, dan keluhuran akhlak. Inilah seni dakwah
Rasulullah ﷺ yang harus kita teladani: menghadirkan
Islam sebagai agama yang memuliakan akal, menghormati martabat manusia, dan
menawarkan kehidupan yang bermakna di dunia sekaligus kebahagiaan abadi di
akhirat. RA(*)