Posted on 31 August 2025
Dalam sejarah panjang peradaban, umat Islam selalu berhadapan dengan perubahan besar—baik dalam politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Perubahan itu kadang positif, namun tak jarang menjerumuskan pada fitnah yang menyesatkan. Untuk memahami fenomena ini, lahirlah sebuah cabang kajian yang disebut Fiqh at-Tahawwulat (Fiqih Transformasi), yaitu ilmu yang membedah dinamika zaman, tantangan global, dan cara menjaga keutuhan umat dalam arus perubahan.
1. Konsep Nawaqid (Pembatal-Pembatal)
Secara bahasa, nawaqid berarti sesuatu yang meruntuhkan dari akarnya. Dalam konteks fiqh transformasi, ia merujuk pada segala hal yang merusak sendi-sendi ajaran Islam: akidah, ilmu, hukum, hingga tatanan sosial-ekonomi. Rasulullah ﷺ telah memperingatkan:
"Akan terurai satu demi satu ikatan Islam; setiap kali satu ikatan terurai, manusia akan berpegang pada ikatan berikutnya. Ikatan pertama yang terurai adalah hukum, dan yang terakhir adalah shalat."
Artinya, kehancuran sebuah umat bukanlah peristiwa tiba-tiba, melainkan proses gradual. Dimulai dari keruntuhan sistem hukum, berlanjut pada krisis nilai, hingga akhirnya shalat pun diperdebatkan dan ditinggalkan.
2. Konsep Naqaid (Kontradiksi-Kontradiksi)
Jika nawaqid adalah pembatal dari luar, maka naqaid adalah kontradiksi dari dalam. Ia muncul ketika individu atau kelompok melakukan tindakan yang bertentangan dengan syariat, meski secara formal masih berada dalam lingkaran Islam. Rasulullah ﷺ menggambarkan era ini:
"Akan datang suatu masa, di mana orang jujur didustakan, pendusta dipercaya, orang amanah dikhianati, pengkhianat diberi amanah, dan orang hina menjadi pemimpin."
Fenomena ini bukan sekadar deviasi personal, tetapi tanda hadirnya disrupsi moral yang menggerogoti struktur sosial.
3. Fitnah: Ujian dan Pergeseran
Fitnah bukan selalu berarti kejahatan, ia bisa menjadi ujian yang melahirkan kesabaran.
Seperti firman Allah:
وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ
"Dan sungguh, Kami telah memberi fitnah (menguji) Sulaiman..." (QS. Shad: 34)
وَفَتَنَّاكَ فُتُونًا
"Dan Kami telah memberi fitnah padamu (mengujimu) dengan berbagai ujian..." (QS. Thaha: 40)
Namun, ketika fitnah mengarah pada perubahan yang menjauhkan umat dari syariat, ia berubah menjadi ancaman eksistensial. Di sinilah pentingnya membedakan antara fitnah sebagai ujian (yang membawa pahala jika dihadapi dengan iman) dan fitnah sebagai kesesatan (yang menyeret pada keruntuhan).
4. Mudhillat al-Fitan: Fitnah yang Menyesatkan
Ini adalah fase paling berbahaya: ketika individu, keluarga, bahkan bangsa, terseret ke dalam jebakan global yang menjauhkan mereka dari Allah. Dalam konteks modern, ia bisa berupa ideologi sekularisme ekstrem, hedonisme budaya pop, ketidakadilan ekonomi global, perang informasi di media, hingga narasi besar tentang "tatanan dunia baru". Semua itu jika tidak dihadapi dengan iman, hanya akan menjadi jalan bagi dajjal dan syaitan.
5. Jalan Selamat: Menjaga Umat di Era Krisis
Fiqh transformasi bukan hanya ilmu analisis, tapi juga ilmu solusi. Rasulullah ﷺ telah memberikan resep: kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, menghidupkan jamaah, serta memperkuat kesadaran bahwa hidup ini bagian dari peta besar menuju akhir zaman.
Maka, sikap seorang Muslim di era globalisasi yang penuh fitnah adalah:
Dunia hari ini sedang bergerak menuju turbulensi besar: krisis politik, ekonomi digital, AI, perubahan iklim, hingga konflik ideologi. Semua ini, dalam perspektif Islam, bukan sekadar isu global, melainkan tanda-tanda yang pernah diberitakan Rasulullah ﷺ.
Maka, memahami nawaqid, naqaid, dan fitnah, serta mengetahui cara selamat darinya, bukanlah pilihan intelektual belaka. Ia adalah kewajiban peradaban, agar umat Islam tidak tercerabut dari akar tauhid dan mampu bertahan sebagai rahmat bagi semesta.RA(*)
* Artikel ini terinspirasi dari al-Nubdzah ash-Shughra (Fiqih Tahawwulat), karya Al-Habib Abubakar Adni bin Ali Al-Masyhur