Posted on 17 August 2025
Apa Itu Hilm?
Kata Hilm (kesantunan) bukan sekadar kesabaran pasif, melainkan sebuah kekuatan batin untuk tetap tenang, terkendali, dan bijaksana di saat emosi memuncak. Para ulama klasik memberi definisi beragam:
الحِلم ضبطُ النَّفسِ والطَّبعِ عندَ هَيَجانِ الغَضَبِ
“Hilm adalah kemampuan menahan diri dan watak saat amarah memuncak.”
الحِلم تركُ الانتقامِ عندَ شِدَّةِ الغَضَبِ معَ القُدرةِ على ذلك
“Hilm berarti meninggalkan balas dendam di puncak amarah, meskipun mampu melakukannya.”
الحِلم هو الطُّمأنينةُ عندَ سُورةِ الغَضَبِ، وقِيلَ: تأخيرُ مُكافأةِ الظّالِم
“Hilm adalah ketenangan ketika tersulut amarah, atau menunda balasan bagi yang menzhalimi.”
الحِلم هو احتمالُ الأعلى الأذى مِنَ الأدنى... أو هو رزانةٌ في البدنِ يَقتضيها وفورُ العقل
“Hilm adalah kesanggupan orang yang berkedudukan lebih tinggi untuk menahan gangguan dari yang lebih rendah, suatu keteguhan yang lahir dari keluhuran akal.”
Dengan kata lain, Hilm adalah seni mengendalikan kuasa ketika bisa meledak, memilih memberi ruang untuk kebaikan, bukan melampiaskan dendam.
Bedanya Hilm dan Ṣabr
Imam al-‘Askari dalam al-Furuq menjelaskan perbedaan penting:
Maka, orang yang tidak menzalimi sejak awal tidak otomatis disebut halim (penyantun). Disebut ḥalim bila ia mampu membalas, tapi memilih menahan atau memaafkan.
Nilai Spiritual Hilm
Imam al-Ghazali dalam Iḥya’ ‘Ulum ad-Din menulis:
الحِلمُ أفضلُ من كظمِ الغيظ
“Hilm lebih utama daripada sekadar menahan amarah.”
Karena menahan amarah adalah takalluf (usaha keras yang berat), sedangkan Hilm adalah watak matang yang lahir dari kelaziman akal sehat dan jiwa yang lapang.
Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّمَا العِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَالحِلمُ بِالتَّحَلُّمِ
“Ilmu diperoleh dengan belajar, dan Hilm dengan melatih diri untuk menyantuni.” (HR. al-Khathib)
Kisah-Kisah Hilm Nabi ﷺ
Tidak ada sosok yang mengajarkan Hilm sedalam Rasulullah ﷺ. Beberapa momen yang paling menunjukkan kesantunan Beliau ﷺ antara lain:
Dikisahkan oleh Sahabat Anas bin Malik:
Seorang Arab Badui menarik keras jubah Nabi ﷺ hingga meninggalkan bekas merah di leher
beliau. Lalu ia berkata: “Wahai Muhammad, berikan aku harta Allah yang ada
padamu!”
Rasulullah ﷺ hanya tersenyum dan memerintahkan
agar orang itu diberi bagian. (HR. Muslim)
Seorang lelaki Yahudi bernama Zayd ibn Sa‘nah menagih utang dengan kasar kepada Nabi ﷺ. Sahabat Umar bin al-Khathab marah, namun Nabi ﷺ berkata dengan tenang:
كُنَّا إِلَى غَيْرِ هَذَا أَحْوَجَ، يا عُمَر: أَنْ تَأْمُرَنِي بِحُسْنِ القَضَاءِ، وَتَأْمُرَهُ بِحُسْنِ التَّقَاضِي
“Kita lebih butuh sikap lain darimu wahai Umar, kita lebih butuh engkau menasihatiku agar membayar dengan baik, dan menasihatinya agar menagih dengan baik.”
Peristiwa ini justru menjadi sebab masuk Islamnya si penagih.
Ketika gigi beliau patah dan wajahnya berdarah di Perang Uhud, para sahabat mendesak agar Nabi ﷺ melaknat musuh. Tapi beliau berkata:
إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَلَكِنْ بُعِثْتُ دَاعِيًا وَرَحْمَةً. اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لا يَعْلَمُونَ
“Aku tidak diutus sebagai pelaknat, tapi sebagai pendakwah dan pembawa rahmat. Ya Allah, beri hidayah kaumku, karena mereka tidak tahu.” (HR. Muslim)
Ketika dilempari di Ṭha’if hingga berdarah, Malaikat Gunung menawarkan untuk membinasakan penduduknya. Nabi ﷺ menolak dan berkata penuh harap:
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Aku berharap Allah akan mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang menyembah-Nya semata.” (HR. Bukhari)
Hilm sebagai Etika Peradaban
Hikmah dari Hilm bukan hanya moral pribadi, tapi juga modal sosial-politik. Di tangan Nabi ﷺ, Hilm menjadi strategi memenangkan hati musuh, membangun peradaban baru, dan menaklukkan kebencian dengan kelembutan.
Tak heran, saat Fathu Makkah, beliau berkata kepada orang Quraisy yang dulu menyiksanya:
لا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ
“Tidak ada celaan bagi kalian hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian.”
Inilah puncak Hilm: mengubah momen balas dendam menjadi perayaan pengampunan.
Hilm bukan kelemahan, melainkan puncak kendali diri yang hanya bisa lahir dari jiwa yang matang dan akal yang tercerahkan. Rasulullah ﷺ adalah teladan tertinggi dalam hal ini—di mana kekuatan sejati bukan pada seberapa keras kita membalas, tapi seberapa dalam kita mampu menahan, memaafkan, dan merangkul. Semoga kita dapat meneladani Beliau ﷺ dalam sifat yang Istimewa ini. RA(*)