Posted on 22 November 2025
Berikut ini adalah nasihat Al-Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya bagi Alawiyin, agar tidak tertipu dengan kemuliaan nasab. Beliau menulis dalam kitab “Bunnatul Jalis Wa Qahwatul Anis”:
Bab Keenam Belas
Penjelasan Bahwa Termasuk Perkara Yang Dilarang Syariat Adalah Tertipu Oleh Kemuliaan Nasab Tanpa Amal Saleh
Termasuk larangan syariat adalah sikap tertipu (bangga diri) dengan nasab, merasa mulia hanya karena keturunan, tanpa disertai amal saleh. Dalam hal ini, banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi ﷺ yang memberikan peringatan tegas.
Allah ﷻ berfirman:
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ
“Maka apabila sangkakala ditiup, maka tidaklah ada lagi hubungan nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak pula mereka saling bertanya.” (QS Al-Mu’minūn: 101)
Allah ﷻ juga berfirman mengenai kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam:
وَنَادَىٰ نُوحٌ رَّبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ
“Dan Nuh memohon kepada Tuhannya, ia berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu benar, dan Engkau adalah Hakim yang paling adil.’ Allah berfirman: ‘Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu; sesungguhnya (perbuatannya) adalah perbuatan yang tidak baik.’” (QS. Hud: 45–46)
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barangsiapa amalnya lambat (tidak berkualitas), maka nasabnya tidak akan mempercepat (mengangkat) dirinya.”(HR. Muslim)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
إِنَّ أَوْلِيَائِي يَوْمَ القِيَامَةِ الْمُتَّقُونَ وَإِنْ كَانَ نَسَبٌ أَقْرَبُ مِنْ نَسَبٍ، لَا يَأْتِي النَّاسُ بِالأَعْمَالِ وَتَأْتُونَ بِالدُّنْيَا تَحْمِلُونَهَا عَلَى رِقَابِكُمْ، فَتَقُولُونَ: يَا مُحَمَّدُ، فَأَقُولُ: هَكَذَا وَهَكَذَا، وَأُعْرِضُ فِي كِلَا عِطْفَيَّ
“Sesungguhnya para wali (kekasih)-ku pada hari kiamat adalah orang-orang bertakwa, meskipun ada nasab yang lebih dekat daripada nasab. Kelak manusia datang membawa amal, sedangkan kalian datang dengan dunia yang kalian pikul di leher kalian. Lalu kalian berkata: ‘Wahai Muhammad!’ Maka aku berkata: ‘Begini dan begini,’ lalu aku berpaling dari kalian dengan kedua bahuku.”
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
يَا بَنِي هَاشِمْ، لَا يَأْتِيَنَّ النَّاسُ يَوْمَ القِيَامَةِ بِالآخِرَةِ يَحْمِلُونَهَا عَلَى ظُهُورِهِمْ، وَتَأْتُونَهَا بِالدُّنْيَا عَلَى ظُهُورِكُمْ، لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا
“Wahai Bani Hasyim, kelak manusia datang pada hari kiamat dengan (bekal) akhirat di atas punggung mereka, sedangkan kalian datang (hanya) membawa dunia di atas punggung kalian. Aku tidak dapat menyelamatkan kalian sedikit pun dari (siksaan) Allah.”
Ketika turun firman Allah Ta‘ala:
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ ٱلأَقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu‘ara’: 214)
Rasulullah ﷺ pun memanggil kaum Quraisy kemudian mereka berkumpul. Beliau memberi peringatan secara umum dan khusus, dan meminta mereka menyelamatkan diri dari api neraka. Hingga akhirnya beliau bersabda:
يَا فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ! يَا صَفِيَّةُ بِنْتُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ! يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ! لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا، غَيْرَ أَنَّ لَكُمْ رَحِمًا سَأَبُلُّهَا بِبِلَالِهَا
“Wahai Fathimah binti Muhammad! Wahai Shafiyah binti Abdul Muttalib! Wahai Bani Abdul Muttalib! Aku tidak memiliki kuasa sedikit pun untuk menyelamatkan kalian dari (siksaan) Allah. Hanya saja kalian memiliki hubungan kekerabatan denganku yang akan tetap aku sambung sebagaimana semestinya.”
Diriwayatkan dari al-Ashma‘i ra. bahwa beliau pernah melihat Imam Ali bin al-Husain radhiyallahu anhu menangis karena begitu besar rasa takutnya kepada Allah Ta‘ala dan kesungguhannya dalam bermujahadah. Al-Ashma‘ī berkata kepadanya:
“Wahai tuanku, apa gerangan tangisan ini? Apa yang membuat Anda begitu gelisah, padahal Anda adalah keturunan keluarga Nabi? Bukankah Allah Ta‘ala berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Aḥzab: 33)
Maka beliau menjawab:
“Wahai Ashma‘ī, jauh sekali (perkiraanmu)! Allah menciptakan surga bagi siapa pun yang menaati-Nya meskipun ia seorang hamba dari bangsa Habasyah. Dan Allah menciptakan neraka bagi siapa pun yang mendurhakai-Nya meskipun ia adalah raja dari suku Quraisy.”
Sayyidinā ʿAli bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata:
الشَّرَفُ كُلُّ الشَّرَفِ مَنْ شَرَّفَهُ عِلْمُهُ، وَالسُّؤْدُدُ كُلُّ السُّؤْدُدِ مَنْ اتَّقَى رَبَّهُ
“Kehormatan yang sebenar-benarnya adalah orang yang dimuliakan oleh ilmunya. Dan kemuliaan yang sejati adalah orang yang bertakwa kepada Tuhannya.”
Al-Habib Idrus bin ʿUmar berkata tentang nasihat al-Habib Ahmad bin Hasan Jamal al-Lail al-Madani ra. mengenai kewajiban Ahlul Bait:
“Yang keempat: meninggalkan sikap membanggakan keturunan, dan tidak menggantungkan keselamatan hanya pada nasab tanpa berusaha meraih keutamaan agama. Karena Rasulullah ﷺ secara khusus mewasiatkan kepada Ahlul Bait agar bertakwa, serta memperingatkan mereka agar tidak sampai ada orang lain yang lebih dekat kepada beliau pada hari kiamat karena lebih bertakwa. Jangan sampai mereka mengutamakan dunia atas akhirat karena tertipu oleh nasab.”
Kemudian beliau mengutip firman Allah Ta‘ala:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurāt: 13)
Al-Habīb ʿAbdullah bin ʿAlawi al-Haddad radhiyallahu anhu berkata dalam salah satu bait Qashidah nasihatnya:
وَاحۡذَرۡ وَإِيَّاكَ مِنۡ قَوۡلِ ٱلۡمَجۡهُولِ أَنَا *** وَأَنتَ دُونِي فِي فَضۡلٍ وَفِي حَسَبِ
“Waspadalah –
sungguh waspadalah – dari ucapan orang yang tidak mengetahui hakikat dirinya:
‘Aku lebih tinggi darimu dalam kemuliaan dan nasab.’”
فَقَدۡ تَأَخَّرَ أَقۡوَامࣱ وَمَا قَصَدُوا *** نَیۡلَ ٱلۡمَكَارِمِ وَٱسۡتَغۡنَوۡا بِكَانَ أَبِي
“Sungguh, banyak orang tertinggal (dari derajat kemuliaan) karena tidak berusaha meraih kemuliaan, lalu merasa cukup hanya dengan berkata: ‘Dulu ayahku begini dan begitu.’”
Dan beliau ra. berkata dalam kitab An-Nashaih:
“Barang siapa berkata atau berkeyakinan bahwa meninggalkan ketaatan dan melakukan maksiat tidak akan membahayakan dirinya hanya karena kemuliaan nasab atau kesalehan nenek moyangnya, maka sungguh ia telah membuat kedustaan atas nama Allah dan menyelisihi ijma‘ seluruh kaum muslimin.” (Selesai kutipan)
Al-Ḥabīb Aḥmad bin ʿUmar bin Sumaith radhiyallahu anhu juga berkata dalam syairnya:
مَن كَانَ ذَا طَبۡعٍ أَبِيࣲّ *** لَمۡ يَكۡفِهِ كَانَ أَبِي
“Barang siapa memiliki jiwa mulia, tidaklah cukup baginya hanya berkata: ‘Ayahku dulu orang mulia.’”
لَيۡسَ ٱلۡفَتَىٰ مَن یَّكۡتَفِی *** وَیَغۡتَرُّ بِٱلنَّسَبِ
“Bukanlah pemuda sejati dia yang merasa cukup dan tertipu dengan nasabnya.”
یَتۡرُكُ أَسۡبَابَ ٱلنَّجَا *** مُسۡتَبۡدِلࣰا بِٱلۡعَطَبِ
“Ia meninggalkan sebab-sebab keselamatan, lalu memilih hal-hal yang membawa kebinasaan.”
حِرۡصࣰا عَلَىٰ مَالࣲ وَجَاهࣲ *** بَلۡ ذَا هُوَ ٱلۡغِرُّ ٱلۡغَبِیُّ
“Karena rakus terhadap harta dan kedudukan, sungguh inilah orang yang tertipu dan paling bodoh.”
إِنَّ ٱلۡفَتَىٰ مَن یَّقۡتَدِی *** بِٱلۡمُصۡطَفَىٰ خَیۡرِ نَبِیࣲّ
“Sesungguhnya pemuda sejati adalah dia yang meneladani Nabi al-Muṣṭafā, sebaik-baiknya Nabi.” Hingga akhir qasidah.
Imam al-Ghazali radhiyallahu anhu berkata dalam Ihyā’ ʿUlumiddin:
“Terkadang seseorang tertipu (dalam urusan akhiratnya) karena terlalu bersandar pada kesalehan nenek moyangnya dan kedudukan mulia yang mereka miliki. Hal ini seperti sebagian keturunan keluarga alawiyyin yang tertipu dengan nasabnya, sementara mereka menyelisihi jalan para leluhur mereka dalam rasa takut kepada Allah, ketakwaan, dan kehati-hatian (wara‘). Mereka beranggapan bahwa mereka lebih mulia di sisi Allah dibandingkan leluhur mereka. Padahal para leluhur itu, dengan kesempurnaan wara‘ dan ketakwaan mereka, tetap diliputi rasa takut (kepada Allah), sedangkan mereka — dengan dosa besar dan kefasikan yang nyata — merasa aman dari azab Allah. Ini adalah puncak dari ketertipuan terhadap Allah.” (selesai kutipan)
Al-Habib Abdullah bin ʿAlawi al-Haddad radhiyallahu anhu berkata:
“Barang siapa membanggakan diri di hadapan sesama manusia dengan nasab dan leluhurnya, maka hilanglah keberkahan para leluhurnya darinya. Sebab para leluhur itu sama sekali tidak berbangga diri dan tidak menyombongkan diri atas manusia. Andaikata mereka melakukannya, niscaya hilanglah keutamaan mereka.” RA(*)