Posted on 04 October 2025
Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam kitab Nashaih Diniyah mengatakan:
Para ulama raḥimahumullah menjelaskan bahwa takwa adalah melaksanakan segala perintah Allah Ta‘ala dan menjauhi semua larangan-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, disertai dengan perasaan mengagungkan Allah, penuh rasa takut, segan, dan khawatir terhadap-Nya.
Sebagian mufassir raḥimahumullah ketika menafsirkan firman Allah:
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Bertakwalah kamu kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 102)
mereka mengatakan: yaitu dengan menaati-Nya dan tidak mendurhakai-Nya, mengingat-Nya dan tidak melupakan-Nya, serta bersyukur kepada-Nya dan tidak mengingkari-Nya.
Namun, seorang hamba tidak akan pernah mampu—sekalipun ia memiliki sejuta nyawa yang diberikan seluruhnya untuk ibadah, atau hidup selama ribuan tahun yang dihabiskan dalam ketaatan—untuk bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Itu karena begitu agungnya hak Allah atas hamba-hamba-Nya, keagungan-Nya yang tiada tara, kebesaran-Nya yang menjulang tinggi, dan kemuliaan-Nya yang tak terhitung.
Bahkan manusia yang paling sempurna dalam menunaikan hak Allah, Nabi Muhammad ﷺ, dalam doanya mengakui ketidakmampuan untuk menunaikan pujian kepada Allah sebagaimana mestinya. Beliau bersabda:
أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ، لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Aku berlindung dengan keridaan-Mu dari murka-Mu, dengan keselamatan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari (hukuman)-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian atas-Mu. Engkau sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.” (HR. Muslim)
Telah sampai kepada kami bahwa Allah memiliki malaikat yang sejak diciptakan, terus-menerus berada dalam rukuk, sujud, tasbih, dan pengagungan tanpa pernah berhenti. Namun pada hari kiamat, mereka pun berkata:
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، مَا عَرَفْنَاكَ حَقَّ مَعْرِفَتِكَ، وَلَا عَبَدْنَاكَ حَقَّ عِبَادَتِكَ
“Maha Suci Engkau, dan segala puji bagi-Mu. Kami tidak mengenal-Mu dengan pengenalan yang semestinya, dan kami tidak menyembah-Mu dengan ibadah yang sebenarnya.”
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat:
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Bertakwalah kamu kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 102)
telah dinasakh (dihapus hukumnya) dengan firman Allah:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16)
Namun, sebagian ulama lain menegaskan bahwa ayat kedua bukanlah penghapus, melainkan penjelas dari ayat pertama. Dan pendapat inilah yang benar insya’ Allah. Sebab Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Walaupun Allah Mahakuasa untuk memerintahkan apa pun, namun Dia memberikan keringanan dan kemudahan kepada hamba-Nya. Allah berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa’: 28)
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Imam al-Ghazali raḥimahullah dalam Iḥya’ ‘Ulum ad-Din menjelaskan: ketika turun firman Allah:
لِّلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِن تُبْدُواْ مَا فِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللَّهُ
“Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu.” (QS. Al-Baqarah: 284)
Hal ini terasa berat bagi para sahabat Rasulullah ﷺ. Mereka mendatangi beliau seraya berkata: “Ya Rasulallah, kami dibebani sesuatu yang tidak sanggup kami pikul!”
Mereka memahami ayat ini seakan-akan mereka akan dihisab bahkan atas bisikan hati. Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
أَتُرِيدُونَ أَنْ تَقُولُوا كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ: سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا؟ وَلَكِنْ قُولُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا، غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Apakah kalian ingin mengatakan sebagaimana ucapan Bani Israil: ‘Kami dengar tetapi kami durhaka’? Tetapi katakanlah: ‘Kami dengar dan kami taat, ampunilah kami wahai Tuhan kami, dan kepada-Mu lah tempat kembali.’”
Lalu para sahabat mengucapkannya. Maka Allah menurunkan ayat:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara rasul-rasul-Nya. Dan mereka mengatakan: Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada-Mu tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 285)
Ayat ini menceritakan tentang sikap mereka, lalu Allah mengabulkan doa mereka: agar tidak dibebani dengan kelupaan dan kesalahan, agar tidak ditimpa beban berat, dan seterusnya. Akhirnya Allah meringankan, memudahkan, serta menghapus kesulitan. Maka segala puji bagi-Nya dengan pujian yang sebanyak-banyaknya.
Nabi ﷺ kemudian menjelaskan:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ، وَمَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَقُلْ أَوْ تَعْمَلْ
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan untukku dari umatku kesalahan, kelupaan, perbuatan yang mereka dipaksakan untuk melakukannya, dan apa yang dibisikkan dalam hati mereka selama tidak diucapkan atau dilakukan.” RA(*)