Posted on 04 August 2025
Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam kitab ‘Nashaih’nya mengatakan:
Allah ﷻ tidak menerima alasan-alasan lemah dan dalih-dalih palsu yang sering dijadikan pembenaran oleh sebagian orang untuk meninggalkan kewajiban amar ma‘ruf nahi munkar. Di antara alasan yang sering terdengar adalah: “Tidak ada yang mau menerima nasihat kami.” Atau: “Kami khawatir akan mendapatkan gangguan yang tak sanggup kami tanggung jika menegur.” Dalih-dalih semacam ini hanyalah bisikan hawa nafsu yang muncul dari mereka yang tidak memiliki mata hati dan kecemburuan terhadap agama Allah.
Padahal, diam hanya dibolehkan bila benar-benar yakin akan datangnya bahaya besar yang nyata, atau telah pasti tidak akan ada penerimaan sama sekali. Namun, sekalipun dalam kondisi seperti itu, menegur kemungkaran tetap lebih utama dan lebih mulia—hanya saja kewajibannya menjadi gugur.
Yang mengherankan, bila harga diri mereka dihina, atau harta mereka diambil—meskipun sedikit—mereka akan murka dan tidak terima. Mereka akan bangkit membela diri dan menuntut keadilan tanpa banyak alasan. Namun ketika kehormatan agama dilanggar, syariat dinista, dan maksiat merajalela, mereka justru bungkam. Mereka menghindar dengan sejuta alasan yang tak pernah mereka gunakan saat urusan pribadi mereka tersentuh. Apakah kehormatan diri dan kekayaan lebih mereka cintai daripada agama Allah?
Dan jika pun benar nasihat mereka tidak didengar, mengapa mereka masih saja bergaul dan bersahabat dengan para pelaku maksiat? Padahal, Allah mewajibkan kita untuk berpaling dan menjauh dari mereka apabila mereka enggan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam ajaran agama, siapa pun yang menyaksikan kemungkaran dan memiliki kemampuan untuk menegurnya, tetapi memilih diam, maka ia dianggap telah turut serta dalam dosa. Bahkan orang yang rela atas kemungkaran, meskipun ia tidak berada di tempat kejadian, tetap terhitung sebagai pelaku maksiat secara hukum syariat. Jarak tidak menjadi alasan, meskipun ia berada di ujung timur dan kemungkaran itu terjadi di ujung barat.
Lebih dari itu, siapa yang bersahabat dan bergaul akrab dengan para pelaku dosa, meskipun ia sendiri tidak melakukan perbuatan tersebut, tetap dicatat oleh Allah sebagai bagian dari mereka. Jika azab turun, ia akan terkena imbasnya bersama mereka, dan tak ada jalan keselamatan kecuali dengan menegur terlebih dahulu, lalu menjauhi dan meninggalkan mereka bila mereka tetap enggan menerima kebenaran.
Karena cinta karena Allah kepada orang yang taat, dan benci karena Allah kepada orang yang durhaka, adalah pokok keimanan yang paling kokoh.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"Ketika Bani Israil mulai berbuat dosa, para ulama mereka menegur, namun tidak diindahkan. Lalu mereka tetap bergaul, duduk, dan makan bersama para pelaku maksiat. Maka ketika itulah Allah menjadikan hati mereka saling serupa, lalu melaknat mereka melalui lisan Dawud dan 'Isa bin Maryam."
Hal yang sama terjadi pada kisah penduduk desa yang tinggal di tepi laut, saat mereka melanggar larangan Allah dengan menangkap ikan pada hari Sabtu. Saat itu umat terpecah menjadi tiga golongan:
Ketika azab Allah turun, kelompok pertama dan kedua terkena adzab. Meskipun kelompok kedua tidak ikut melakukan maksiat, mereka tetap terkena hukuman karena tetap tinggal bersama para pelaku kemungkaran. Sementara yang diselamatkan hanyalah kelompok ketiga, yang menegur lalu menjauh.
Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā:
أَنجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُواْ بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُواْ يَفْسُقُونَ
“Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat, dan Kami
timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras disebabkan mereka
selalu berbuat fasik.” (QS. al-A‘raf: 165)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
أَوْ نَلْعَنَهُمْ كَمَا لَعَنَّا أَصْحَابَ السَّبْتِ
“Atau Kami kutuk mereka sebagaimana Kami telah mengutuk pelanggar hari Sabtu.” (QS. an-Nisā’: 47)
Maka, hijrah dan menjauh dari pelaku maksiat adalah kewajiban, terutama ketika telah nyata bahwa mereka menolak kebenaran.RA(*)