Posted on 08 October 2025
Dalam sejarah manusia, belum pernah ada seorang pemimpin spiritual yang juga memiliki kemampuan manajerial, sosial, ekonomi dan arsitektural sekomprehensif Rasulullah ﷺ. Beliau bukan hanya pembawa risalah langit, tetapi juga seorang planner ulung yang mampu menata kehidupan duniawi umatnya dengan visi kemanusiaan dan keadilan sosial yang mendalam.
Perencanaan dan Penataan Ruang dalam Kehidupan Madinah
Nabi ﷺ dikenal memiliki perhatian besar terhadap perencanaan dan pengaturan tata ruang kota Madinah. Beliau menata pembangunan rumah, jalan, dan pasar berdasarkan prinsip keseimbangan antara hak individu dan hak publik. Tidak hanya sekadar estetika atau efisiensi ruang, tetapi juga mengandung nilai-nilai syariat dan etika sosial.
Beliau ﷺ memastikan agar hak jalan umum tidak dilanggar, hak tetangga terjaga, dan hak rumah ibadah tidak terganggu. Bahkan aspek kesehatan lingkungan menjadi perhatian beliau. Rumah, masjid, dan fasilitas umum ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan masyarakat.
Disebutkan oleh Ibn Sa‘d dalam Thabaqat-nya bahwa ketika Rasulullah ﷺ membagikan lahan di Madinah, beliau menentukan sendiri batas rumah untuk para sahabatnya, termasuk rumah untuk Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan radhiyallahu anhu.
Suatu ketika, saat melihat sebidang tanah yang lapang, Beliau ﷺ bersabda,
نِعْمَ مَوْضِعُ الحَمَّامِ هَذَا
Tempat ini sangat baik untuk dijadikan pemandian umum.
Perkataan ini mencerminkan keluasan pengetahuan beliau dalam bidang arsitektur, tata ruang, hingga ilmu tentang arah angin (مهابّ الأهوية).
Disiplin dan Ketertiban dalam Pembangunan
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ mengumumkan kepada para sahabat di medan perang:
مَنْ ضَيَّقَ مَنْزِلًا أَوْ قَطَعَ طَرِيقًا فَلَا جِهَادَ لَهُ
"Barang siapa yang mempersempit rumah orang lain atau memutus jalan umum, maka tidak ada pahala jihad baginya."
Ini menunjukkan bahwa beliau menanamkan nilai disiplin dan keteraturan bahkan dalam kondisi perang — apalagi dalam kehidupan damai dan pembangunan kota.
Etika Kesehatan dan Hak Tetangga
Beliau ﷺ juga menetapkan aturan yang sangat rinci mengenai hak-hak bertetangga dalam pembangunan. Saat seseorang bertanya tentang hak tetangga, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا تَرْفَعْ بِنَاءَكَ فَوْقَ بِنَائِهِ فَتَسُدَّ عَلَيْهِ الرِّيحَ، وَلَا تُؤْذِهِ بِرِيحِ قَذَرِكَ إِلَّا أَنْ تَغْرِفَ لَهُ مِنْهَا
"Janganlah engkau tinggikan bangunanmu melebihi bangunan tetanggamu hingga menghalangi angin baginya, dan jangan ganggu dia dengan bau masakanmu kecuali engkau berbagi Sebagian masakan itu dengannya." (HR Baihaqi)
Dalam Riwayat lain:
ولا تحجب عنه الريح إلا بإذنه
Dan jangan kau halangi aliran angin darinay kecuali dengan izinnya
Ini adalah prinsip green architecture dan neighborhood harmony yang jauh mendahului teori urban planning modern. Rasulullah ﷺ menempatkan etika, kesehatan, dan hak asasi manusia dalam setiap keputusan pembangunan.
Manajemen Pasar dan Pengawasan Ekonomi
Tak hanya dalam perumahan, Rasulullah ﷺ juga menata sistem pasar dengan penuh kebijaksanaan. Ketika melihat pasar lama Madinah yang tidak layak, beliau bersabda:
لَيْسَ لَكُمْ هَذَا بِسُوقٍ
"Pasar ini tidak layak bagi kalian."
Kemudian beliau pergi ke lokasi lain, melihatnya, lalu menjejakkan kakinya dan bersabda:
نِعْمَ سُوقُكُمْ هَذَا، فَلَا يُنْقَصْ
"Inilah pasar kalian yang baik, jangan ada yang mengurangi." (HR. Ibn Majah dan al-Ṭabarani)
Pengawasan Pasar dalam Sistem Ekonomi Nabi ﷺ
Salah satu sisi paling menakjubkan dari kebijakan ekonomi Rasulullah ﷺ adalah kepedulian beliau terhadap pasar sebagai pusat kehidupan sosial dan ekonomi umat. Beliau tidak hanya menetapkan aturan, tetapi juga turun langsung mengawasi jalannya transaksi, memastikan pasar tetap bersih dari praktik yang merugikan masyarakat.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ senantiasa memantau kondisi pasar, menanyakan apa yang terjadi di sana, memperhatikan dinamika perdagangan, dan memastikan bahwa setiap aktivitas ekonomi berlangsung secara adil dan bermoral. Ini adalah cikal bakal sistem market supervision yang di dunia modern dikenal sebagai pengawasan oleh otoritas perdagangan dan konsumen.
Dalam riwayat Ṣaḥīḥ al-Bukhari dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma disebutkan:
أَنَّهُمْ كَانُوا يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَبَعَثَ عَلَيْهِمْ مَنْ يَمْنَعُهُمْ أَنْ يَبِيعُوهُ حَيْثُ اشْتَرَوْهُ حَتَّى يَنْقُلُوهُ إِلَى حَيْثُ يُبَاعُ الطَّعَامُ
"Dahulu mereka membeli makanan dari para kafilah yang datang di
masa Rasulullah ﷺ,
maka beliau mengutus seseorang untuk melarang mereka menjualnya di tempat
mereka membelinya, hingga mereka memindahkannya ke tempat di mana makanan biasa
dijual."
(HR. al-Bukhārī, Kitāb al-Buyū‘)
Larangan ini bukan sekadar teknis, melainkan memiliki dimensi ekonomi dan moral. Rasulullah ﷺ ingin menghindarkan umatnya dari praktik monopoli pasar, front running, atau information asymmetry, di mana pihak tertentu memanfaatkan posisi strategis untuk membeli barang dari pedagang luar kota sebelum masuk ke pasar, lalu menjualnya dengan harga yang merugikan masyarakat.
Kebijakan tersebut menunjukkan betapa beliau memahami mekanisme pasar dan psikologi ekonomi. Dalam istilah kontemporer, Rasulullah ﷺ sedang mengajarkan fair trade — perdagangan yang jujur, transparan, dan tidak manipulatif. Beliau tidak membiarkan pihak kuat menekan pihak lemah, dan tidak mengizinkan spekulasi yang merusak stabilitas harga serta keadilan sosial.
Menariknya, Rasulullah ﷺ tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga membangun moral awareness dalam diri para pedagang. Dalam riwayat sahih disebutkan bahwa beliau pernah memasukkan tangannya ke dalam tumpukan gandum milik pedagang, dan mendapati bagian bawahnya basah. Lalu beliau bersabda:
أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ حَتَّى يَرَاهُ النَّاسُ؟ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا
"Mengapa engkau tidak letakkan bagian basah itu di atas agar orang melihatnya? Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golongan kami." (HR. al-Tirmidzi, hadis hasan sahih)
Dengan demikian, fungsi pasar dalam Islam bukan hanya tempat transaksi ekonomi, tetapi juga arena moralitas — tempat manusia diuji kejujuran dan amanahnya. Di tangan Rasulullah ﷺ, pasar bukan sekadar pusat perdagangan, melainkan cerminan keadilan, tanggung jawab sosial, dan kematangan spiritual masyarakat Islam yang pertama.
Setelah Fathu Makkah, Rasulullah ﷺ menunjuk para market regulators seperti Sa‘id ibn Sa‘id ibn al-‘Aṣ untuk pasar Makkah dan ‘Umar ibn al-Khaṭṭab untuk pasar Madinah — sistem pengawasan ekonomi yang menjadi model bagi pemerintahan Islam setelah beliau.
Keadilan Timbangan dan Integritas Transaksi
Perhatian Rasulullah ﷺ terhadap pasar bukan sebatas pengawasan harga atau ketersediaan barang, tetapi juga moralitas dalam transaksi. Abu Hurairah radhiyallahu anhu meriwayatkan:
كَانَ لِأَهْلِ السُّوقِ وَزَّانٌ يَزِنُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: زِنْ وَأَرْجِحْ
"Penduduk pasar memiliki seorang penimbang, lalu Rasulullah ﷺ berkata kepadanya: Timbanglah dan lebihkan sedikit." (HR. Ahmad)
Perintah “زن وأرجح” bukan sekadar dorongan untuk berderma, melainkan landasan moral bagi etika ekonomi Islam: keadilan harus diiringi kemurahan hati. Dalam konteks modern, prinsip ini sejalan dengan konsep value beyond profit — di mana bisnis tidak hanya soal untung, tetapi juga keberkahan dan kepercayaan publik.
Keseimbangan Pasar dan Larangan Monopoli
Rasulullah ﷺ sangat memperhatikan keseimbangan ekonomi. Beliau ingin pasar tetap hidup, harga stabil, dan kebutuhan masyarakat mudah dijangkau. Karena itu beliau bersabda:
الجَالِبُ مَرْزُوقٌ وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُونٌ
"Orang yang membawa barang dagangan (ke pasar) diberi rezeki, sedangkan yang menimbun barang terlaknat."(HR. Ibn Majah)
Ini adalah anti-monopoly policy paling awal dalam sejarah ekonomi. Nabi ﷺ menegaskan bahwa pasar yang sehat adalah pasar yang terbuka, bukan dikuasai segelintir pihak yang mencari laba melalui kelangkaan buatan.
Integritas Profesi dan Peringatan terhadap Kecurangan
Beliau ﷺ juga mengingatkan umat agar berhati-hati terhadap profesi yang rawan kecurangan. Beliau bersabda:
أَكْذَبُ النَّاسِ الصَّبَّاغُونَ وَالصُّوَّاغُونَ
"Orang yang paling sering berdusta adalah para penyamak kulit dan
pandai emas."
(HR. Ibn Majah)
Hadis ini bukan bentuk celaan terhadap profesinya, tetapi kritik sosial terhadap praktik manipulatif dalam produksi dan perdagangan — pesan moral yang relevan hingga hari ini, di era greenwashing dan false advertising.
Pendorong Kemandirian dan Kewirausahaan
Rasulullah ﷺ juga mendorong umatnya untuk bekerja,
berwirausaha, dan tidak bergantung pada belas kasihan. Seorang lelaki datang
mengeluh karena miskin, maka beliau bersabda:
"Pergilah ke lembah ini, jangan sisakan kayu atau duri pun (kecuali kau
ambil dan jual di pasar), dan datanglah kembali setelah sepuluh hari." (HR.
al-Tirmidzi)
Perintah ini mengandung makna mendalam: bekerja dengan tangan sendiri lebih mulia daripada bergantung pada orang lain. Beliau juga mendorong Sa‘d ibn ‘Aidh untuk berdagang, dan ketika ia berhasil meraih keuntungan, Nabi ﷺ bersabda agar ia melanjutkannya — membentuk budaya entrepreneurial spirit dalam masyarakat Islam awal.
Menghargai Tenaga Muda dan Kreativitas Anak
Rasulullah ﷺ menghargai semangat anak-anak yang berjualan di pasar. Dalam sebuah riwayat, beliau melewati ‘Abdullah ibn Ja‘far kecil yang sedang berjualan, lalu berdoa:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُ فِي بَيْعِهِ
"Ya Allah, berkahilah jualannya."(Al-Ishabah)
Sikap ini menunjukkan pandangan progresif beliau terhadap generasi muda — bahwa ekonomi bukan milik orang dewasa saja, melainkan ruang pendidikan dan kemandirian bagi semua.
Dari “Samsarah” ke “Tijarah”: Mengangkat Martabat Ekonomi
Para pedagang pada masa Rasulullah ﷺ
dahulu dikenal sebagai samasirah (calo atau makelar). Namun beliau
mengganti istilah itu dengan sebutan yang lebih mulia: tujjar (para
pedagang).
Beliau bersabda:
«يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الْبَيْعَ ...
"Wahai para pedagang..."(HR. Ibn Majah)
Dengan perubahan istilah ini, Rasulullah ﷺ menanamkan identitas baru bagi dunia usaha — dari sekadar perantara keuntungan menjadi pelaku peradaban. Istilah “tajir” kini menjadi simbol profesionalitas dan kejujuran.
Keterampilan Menjahit
Keistimewaan Rasulullah ﷺ tidak berhenti pada moralitas ekonomi. Beliau memiliki pemahaman mendalam terhadap berbagai bidang teknis seperti menjahit. Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu anha meriwayatkan:
كَانَ يَعْمَلُ أَعْمَالَ أَهْلِ بَيْتِهِ، وَيَخِيطُ ثَوْبَهُ
"Beliau biasa melakukan pekerjaan rumah, bahkan menjahit bajunya
sendiri."
(HR. Ibn Sa‘d)
Beliau juga memberi izin kepada seorang sahabat yang hidungnya terpotong agar menggantinya dengan emas setelah versi perak menimbulkan infeksi — keputusan medis yang menunjukkan pemahaman ilmiah beliau terhadap sifat logam dan kebersihan.
Kualitas, Keindahan, dan Ketepatan Kerja
Ketika melihat Qays ibn Thalq bekerja membangun Masjid Nabawi, beliau memuji ketelitian dan profesionalismenya, seraya bersabda:
قَرِّبُوا لَهُ الطِّينَ، فَإِنَّهُ أَضْبَطُكُمْ لِلطِّينِ
"Dekatkan tanah liat kepadanya, karena ia paling ahli dalam mengolahnya."
Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa kompetensi adalah bagian dari iman. Beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
"Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang ketika bekerja, ia
melakukannya dengan sempurna."
(HR. al-Bayhaqi)
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ bukan hanya guru spiritual, melainkan juga arsitek peradaban. Perencanaan kota, tata pasar, kebijakan publik, dan pengawasan moral seluruhnya berada dalam bingkai tauhid. Beliau memadukan antara spiritual governance dan urban civilization secara seimbang — sebuah model kepemimpinan yang oleh dunia modern baru mulai disadari nilainya.
Beliau ﷺ membangun bukan hanya dinding dan jalan, tetapi juga membangun manusia yang adil, bersih, dan penuh kasih terhadap sesama. Itulah hakikat madinah — kota yang bukan sekadar tempat tinggal, tetapi cerminan tamaddun, yaitu peradaban yang bersumber dari wahyu dan berorientasi pada kemaslahatan umat manusia seluruhnya. RA(*)