Posted on 07 September 2025
Salah satu aspek paling menakjubkan dari kepribadian Nabi Muhammad ﷺ adalah kecedasan bersosial yang tampak dalam cara beliau mengelola manusia, membangun harmoni sosial, dan menata perbedaan. Beliau bukan hanya seorang rasul, tetapi juga negarawan, pendidik, dan pemimpin umat yang piawai menghadapi realitas sosial yang kompleks.
Al-Qur’an menggambarkan beliau sebagai:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sungguh, engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas budi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam: 4)
Seni Mudarah: kebijaksanaan dalam berinteraksi
Nabi ﷺ mampu menyesuaikan pendekatan dengan setiap lapisan masyarakat: dari para sahabat agung, pemimpin kabilah, hingga orang-orang yang kasar, bodoh, atau bahkan suka menyakiti beliau. Dengan strategi mudarah (kebijaksanaan dalam berinteraksi), beliau menahan diri dari konfrontasi yang tidak perlu, demi menarik hati dan melembutkan jiwa mereka menuju kebenaran.
Dikisahkan bahwa beliau bahkan menghadapkan wajahnya kepada orang-orang yang paling buruk akhlaknya, bukan untuk merestui keburukan mereka, melainkan untuk meluluhkan hati mereka. Strategi ini berhasil mengubah banyak permusuhan menjadi persaudaraan, kebencian menjadi keimanan. Allah-lah yang mendidik beliau untuk memiliki kecerdasan sosial dengan seni mudarah ini, seni meluluhkan hati lawan. Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. Al-Fussilat: 34)
Mudarah Bukan Mudahanah (menjilat)
Rasulullah ﷺ bersabda:
مداراة الناس صدقة
“Bermudarah (bersikap bijak dalam menghadapi manusia) adalah sedekah.” (HR Ibnu Adiy dan Thabrani)
Dalam Islam, mudarah adalah sikap terpuji, berbeda dari mudahanah.
Inilah garis pembeda yang sangat penting dalam kepemimpinan dan pergaulan sosial: bersikap fleksibel tanpa kehilangan prinsip.
Jika kita menarik ke realitas kontemporer, strategi Nabi ﷺ ini adalah fondasi ilmu manajemen konflik modern, bahkan bisa disejajarkan dengan konsep emotional intelligence dan conflict resolution. Di tengah dunia yang penuh fragmentasi, polarisasi politik, dan ketegangan antarbangsa, warisan Nabi ﷺ memberi kita pelajaran: menghadapi perbedaan bukan dengan konfrontasi membabi buta, melainkan dengan empati strategis yang berpijak pada nilai-nilai kebenaran.
Kecerdasan sosial Nabi ﷺ membuktikan bahwa kekuatan terbesar bukanlah pada kekerasan, tetapi pada kelembutan yang terukur, kebijakan yang berbasis akhlak, dan strategi yang mengikat hati manusia. Di sinilah letak keajaiban kepemimpinan Rasulullah ﷺ: beliau mampu menjaga prinsip agama tanpa terjerumus pada kompromi yang merusak, sekaligus tetap merangkul manusia dalam seluruh keragamannya. RA(*)
*Terinspirasi dari kitab Muhammad Insanul Kamil, karya Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki