Posted on 01 December 2025
Kepribadian seorang muslim, baik laki-laki maupun Perempuan, tidak akan pernah terbentuk dengan benar kecuali dengan ilmu. Dan ilmu itu memiliki tiga tingkatan: batas minimal, batas sempurna, dan batas paling menyeluruh.
1. Batas Minimal Ilmu
Yaitu pengetahuan terhadap ilmu fardu yang wajib dipelajari setiap orang, berkaitan dengan hubungan manusia dengan perintah dan larangan Allah, serta penegakan hak-hak.
Dimulai dari:
Dan di antara keduanya terdapat hak-hak lain:
Keseluruhan ini disempurnakan melalui mempelajari ilmu-ilmu pada tingkatan Islam.
2. Batas Sempurna Ilmu
Yaitu memahami seluruh hak dan kewajiban di atas dengan kesempurnaan penghayatan, ketelitian, dan pengamalan hingga mencapai sikap mendahulukan orang lain, sempurna dalam memaafkan, lapang hati, bersabar terhadap orang yang berbuat zalim, tidak menuntut kembali hak pribadi, serta memandang apa yang Allah persiapkan sebagai balasan di akhirat.
Hal ini merupakan realisasi dari firman Allah Ta‘ala:
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS Asy-Syura: 40)
Dan firman-Nya:
فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fushilat: 34)
Termasuk dalam batas sempurna ilmu ialah memahami berbagai aspek kebudayaan, ilmu-ilmu teoritis dan praktis, sesuai tahap perkembangan zaman dan tuntutannya, agar seseorang terlindungi dari berbagai jebakan bahaya, baik politik, budaya, sosial, akidah, fanatisme kelompok, sektarian, kelas sosial, dan lainnya, khususnya bagi penuntut ilmu yang terjun dalam berbagai bidang pelayanan masyarakat.
Kesempurnaan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan memadukan:
3. Batas Paling Menyeluruh dalam Menuntut Ilmu
Tingkatan ini sebagaimana disebutkan dalam atsar:
اطْلُبِ العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat.”
Pemilik tingkatan ini senantiasa berada pada derajat murid (penempuh jalan menuju Allah), hingga akhirnya memperoleh rahasia iradah, yaitu kedudukan spiritual yang sangat tinggi dalam agama Islam.
Tingkatan ini dinamakan:
“Martabat Shiddiqiyyah Kubra (Derajat Ash-Shiddiq Teragung)”
Banyak sahabat Rasulullah ﷺ yang mencapainya, begitu pula banyak dari Ahlul Bait Nabi yang meraihnya, serta para pengikut mereka, baik laki-laki maupun Perempuan, yang menghiasi diri dengan akhlak, adab, dan cinta kepada mereka secara amanah dan kokoh dalam agama.
Setiap orang, baik lelaki ataupun Perempuan, dapat mencapai martabat ini dengan:
Menghayati dan menyelami rahasia tiga ilmu pokok beserta rukun keempat, yaitu:
Golongan yang mencapai martabat ini (yakni martabat Shiddiqiyyah Kubra) memiliki kekhususan berupa ilmu al-‘irfan, sebagai salah satu buah tertinggi dari derajat tersebut. Ilmu ini tidak akan diperoleh kecuali oleh orang-orang yang memang layak menerimanya. Mereka adalah orang-orang yang benar pada mereka firman Allah Ta‘ala:
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا ۖ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Dan tidak dianugerahkan sifat itu melainkan kepada orang-orang yang
bersabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang yang mempunyai
keberuntungan besar.”
(QS. Fushilat: 35)
Menurut para ahli ilmu ini, al-‘irfan adalah merealisasikan ilmu kehidupan, baik syar‘i maupun ilmiah, berdasarkan kaidah keterhubungan antara agama dan kehidupan. Dan al-‘irfan tersusun atas empat jenis ilmu:
Walaupun prinsip-prinsip ilmu ini telah disebutkan dalam pembahasan tanda-tanda kiamat dan fikih perubahan zaman, namun kedudukan tertingginya tidak akan sempurna kecuali dengan pendalaman dan penyelaman pada rahasia-rahasia ilmu serta hakikatnya, bukan hanya pada tampilan lahiriahnya.
Para ‘arif billah pewaris rahasia Shiddiqiyyah Kubra tenggelam dalam lautan rahasia keagungan Ilahi melalui ilmu yang paling menyeluruh, yaitu ilmu al-‘irfan. Mereka demikian keadaannya sejak tersingkap bagi mereka hijab Dzat dan hijab makhluk, sebagai realisasi dari firman Allah dalam hadis qudsi:
وَلَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah
hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi
pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang
dengannya ia melihat, Aku menjadi tangannya yang dengannya ia menggenggam, dan
Aku menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku,
pasti Aku beri. Jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Aku lindungi.”
(HR Al-Bukhari). RA(*)
*Sumber: Mabadius Suluk, karya Al-Habib Abubakar Adni bin Ali Al-Masyhur