Keharusan Bertaklid Bagi Selain Mujtahid

Posted on 22 October 2024



Termasuk ciri khusus Ahlu Sunnah wal Jamaah bertaklid kepada satu dari empat Madzhab dalam ilmu fiqih. Dalam kitab Jauharotut Tauhid, kitab rujukan akidah Ahlu Sunnah wal Jamaah disebutkan:

وَمَالِكٌ وَسَائِرُ الْأَئِمَّةْ***كَذَا أَبُو الْقَاسِمْ هُدَاةُ الْأُمَّةْ

فَوَاجِبٌ تَقْلِيدُ حَبْرٍ مِنْهُمُ***كَذَا حَكَى الْقَوْمُ بِلَفْظٍ يُفْهَمُ

Imam Malik dan seluruh imam lainya, begitupula Abul Qasim (junaid), mereka adalah pemberi petunjuk kepada umat

Wajib mentaklid satu tokoh dari mereka, begitulah dihikayatkan oleh kaum dengan lafadz yang difahami

Ijtihad dan Taklid

Ijtihad adalah kemampuan untuk memahami suatu hukum syariat langsung dari sumber aslinya yaitu al-Quran, sunah, ijma dan qiyas. Sedangkan taklid adalah mengikuti pendapat orang lain dalam suatu hukum syariat tanpa mengetahui dalilnya. Orang yang memiliki kemampuan ijtihad dinamakan mujtahid, yang tidak mampu dinamakan muqollid.

Ijtihad dan taklid sama-sama terpuji dalam syariat jika dilakukan oleh orang yang tepat. Seorang mujtahid seperti Imam yang empat tidak boleh taklid kepada siapa pun. Oleh sebab itu kita melihat para Imam yang empat memiliki pendapat sendiri-sendiri walaupun saling berguru. Imam Syafii adalah murid dari Imam Malik, tapi beliau tidak bertaklid kepada Madzhab Imam Malik karena mampu berijtihad sendiri. Imam Ahmad bin Hanbal juga adalah murid dari Imam Syafii, tapi beliau tidak bertaklid kepada Madzhab Imam Syafii karena memiliki kemampuan berijtihad. Ijtihad jika dilakukan oleh ahlinya adalah perkara yang terpuji, Rasululah bersabda:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

Jika seorang hakim memutuskan perkara dan berijtihad dan tepat ijtihadnya maka ia mendapatkan dua pahala, jika menghukumi dan berijtihad lalu salah maka ia mendapatkan satu ganjaran. (HR Bukhari-Muslim)

Tidak semua orang mampu mencapai derajat Ijtihad. Di kalangan para sahabat yang mencapai derajat ini hanya sedikit. Di antaranya adalah para khulafaur rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Muadz bin Jabal dan lainnya. Sedangkan mayoritas shahabat adalah muqolid yang jika mendapatkan suatu permasalahan akan bertanya kepada para tokoh sahabat tersebut.

Taklid itu pun terpuji, bahkan adalah suatu kewajiban bagi mereka yang tidak mencapai derajat ijtihad. Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS an Nisa: 59)

Dalam sebagian tafsir dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri di sini adalah yang memahami hukum syariat baik ia adalah imam, hakim, mujtahid, qodhi, mufti atau lainnya.  Allah juga berfirman:

فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS an Nahl: 43)

Pertanyaan tidak ada gunanya tanpa mengikuti jawabannya, inilah yang dinamakan taklid. Taklid yang demikian ini sudah diamalkan oleh para sahabat dan salaf, mereka saling bertanya satu sama lain tentang masalah hukum kepada tokoh mereka tanpa menanyakan dalilnya.

Syarat mujtahid

Syarat menjadi mujtahid mutlak itu sangat berat. Tidak ada orang yang mampu mencapai derajat ini kecuali orang-orang yang betul-betul langka dalam pengetahuan ilmu agama. Syarat seorang mujtahid, hendaknya ia adalah seorang yang baligh, berakal, bersifat adil, jenius, menguasai ayat-ayat hukum, hadits-hadits hukum, memahami yang mujmal, mubayan, nash, zahir dan muhkam, memahami Bahasa Arab baik percakapan maupun tata-bahasanya, Ushul Fiqih, Balaghoh, mengetahui pendapat para ulama dan ijma ulama (kesepakatan ulama), menguasai qiyas dan jenis-jenisnya, memahami ilmu nasikh dan mansukh, asbabun nuzul (sebab turun ayat), memahami dan dapat membedakan hadits mutawatir, ahad, shahih, dhaif, muttasil, mursal serta mengenal jelas para perawi hadits.

Orang yang memiliki sifat demikian ini sudah sangat langka. Bahkan sebagian ulama mengatakan sudah tidak ada setelah zaman Imam Syafii. Mujtahid harus membangun kaidah Ushul yang orisinil. Inilah yang membuat manusia di masa setelah Imam Syafii hampir mustahil mecapai derajat ini. Imam Ghazali yang hidup di akhir abad ke empat hijriyah menegaskan bahwa pada masanya sudah tidak ada mujtahid mutlak, beliau berkata al Wasith, “Telah kosong zaman ini dari mujtahid mustaqil(yang mampu secara bebas mengambil hukum dari sumbernya).”

Ini adalah keadaan pada zaman Imam Ghazali, lalu bagaimana dengan zmaan kita ini? Ketiadaan ini sebab seorang mujtahid haruslah ahli tafsir, hadits, fiqih, dan ilmu-ilmu lain yang dapat menjadikannya mampu berijtihad. Sedangkan untuk menjadi seorang ahli fiqih atau hadits saja pada masa ini sudah demikian sulit, bahkan bisa dikatakan tidak ada lagi muhadits pada masa ini. Imam Ibnu Hanbal ra pernah ditanya:

 “Jika seorang hafal seratus ribu hadits, apakah ia sudah dikatakan seorang faqih?”

Belum.” Jawab Ibnu Hanbal.

Bagaimana jika hafal dua ratus ribu hadits?”

Belum.”

Bagaimana jika hafal tiga ratus ribu hadits?”

Belum.”

Bagaimana jika hafal empat ratus ribu hadits?”

Iya.”

Siapakah di zaman ini yang hafal minimal empat ratus ribu hadits beserta sanadnya?

Seorang muhadits yang adalah salah satu syarat seorang mujtahid, bukan hanya ia yang sudah membaca dan memahami kitab hadits yang enam tapi juga harus mampu membedakan mana hadits shahih, hasan dan dhaif dengan metodenya sendiri tanpa taklid kepada seorang pun, mampu membedakan hadits yang nasikh (menghapus hukum) dan mansukh (yang hukumnya telah dihapus), mengetahui nama dan tingkat perawi hadits, sanad-sanad hadits, ilat (cacat) hadits, hadits Aliy dan Nazil, hafal sejumlah besar matan hadits, telah memplajari kitab hadits yang enam, musnad Ahmad, Sunan Baihaqi, Mu`jam Athabrani dan kitab-kitab rujukan hadits lainnya. Ini paling sedikit derajat seorang muhadits. Pada masa Imam as Subki di abad ke sepuluh Hijriyah, muhadits sudah hampir tidak ada maka bagaimana dengan zaman ini? Padahal kita tahu bahwa seorang muhadits belum tentu mampu menjadi mujtahid. Jika orang yang mampu menjadi muhadits saja sudah tidak ada, maka bagaimana dengan mujtahid?

Maka sungguh bodoh manusia di masa ini yang menyangka dirinya mujtahid dan mengambil hukum langsung dari al-Quran dan Hadits serta menghukumi sesatnya madzhab empat yang telah disepakati kebenarannya. Ini tidak lain karena kebodohan mereka. Terkadang ia menemukan suatu masalah dalam Madzhab Syafii misalnya, lalu ia tidak mendapati dalil dalam kitab hadits yang enam kemudian ia menghukumi bahwa Imam Syafii menyalahi hadits dalam masalah ini. Sungguh ia tidak tahu, bahwa hadits shahih bukan hanya yang ada dalam kitab hadits yang enam saja, bahkan jumlahnya tidak terhitung. Tidak adanya sanad hadits pada kitab shahih yang enam tidak membuktikan tidak adanya sanad hadits, bisa jadi ia memiliki sanad yang belum ia ketahui.

Jadi pada masa ini hampir dapat dipastikan bahwa mujtahid dan muhadits sudah tidak ada lagi. Yang dapat kita lakukan adalah taklid kepada madzhab yang disepakati yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali.

Wajib taklid

Orang yang tidak sampai derajat mujtahid wajib untuk bertaklid. Secara akal, tidak mungkin setiap orang mampu mengambil hukum langsung dari al-Quran dan hadits, terlebih mereka yang tidak memahami Bahasa Arab. Maka tidak ada jalan bagi mereka untuk memahami hukum syariat kecuali dengan bertaklid.

Dalil yang mewajibkan untuk bertaklid pun banyak, di antaranya adalah ayat:

وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ

Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (QS an Nisa: 83)

Imam ar Razi mengatakan mengenai tafsir ayat ini:

Ayat ini mengandung beberapa kandungan. Pertama, ada hukum-hukum yang tidak diketahui langsung dari nash, tapi dari istinbat(dengan ijtihad). Kedua, istinbat adalah  termasuk hujjah. Ketiga, orang awam wajib bertaklid kepada ulama dalam hukum syariat yang ia hadapi.”

Para pakar ushul dan tafsir menyepakati bahwa ayat di atas berisi perintah Allah bagi selain mujtahid untuk bertaklid kepada mujtahid. Dan inilah yang disepakati oleh para ulama. Al Munawi mengatakan dalam syarah al Jami:

وَعَلَى غَيْرِ الْمُجْتَهِدِ أَنْ يُقَلِّدَ مَذْهَباً مُعَيَّناً

Dan wajib bagi selain mujtahid untuk bertaklid pada madzhab yang tertentu.

Taklid kepada madzhab empat

Pada masa ini, hanya ada empat madzhab yang terjaga dan disebarkan oleh ulama-ulama mereka dengan sangat hati-hati melalui kitab atau kajian-kajian dari masa ke masa sampai saat kita, sehingga kita bisa membuktikan kebenarannya. Mengikuti salah satu dari empat madzhab, bagi mereka yang belum mencapai derajat ijtihad merupakan keharusan sebab kita tidak mengetahui tata-cara beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang diajarkan oleh empat madzhab tersebut. Pada hakikatnya, ketika kita bermadzhab dengan salah satu dari empat madzhab berarti kita sedang berittiba` kepada Rasulullah , sebab para Imam Madzhab merupakan orang-orang terbaik yang berittiba` kepada Rasulullah, sehingga berittiba` kepada mereka sama artinya dengan berittiba` kepada Rasulullah.

Ini bukan berarti bahwa madzhab-madzhab  selain empat madzhab ini merupakan madzhab yang salah. Banyak madzhab yang benar selain empat madzhab ini, tetapi keotentikan madhzab-madzhab itu sangat sulit dibuktikan karena kurangnya perhatian penganut madzhab mereka dalam memelihara ajaran Imamnya. Begitu juga dengan madzhab para sahabat dan thabiin, kita tidak diperkenankan untuk mengikutinya sebab madzhab mereka tidak terpelihara, sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiyah, berbeda dengan madzhab empat yang telah tersusun dengan rapi .

Ibnu Sholah menukilkan ijma bahwa tidak boleh mentaklid selain kepada empat madzhab dalam fatwa dan hukum. Imam as Shawi dalam tafsirnya juga mengatakan:

Tidak boleh bertaklid kepada selain madzhab yang empat walau pun sesuai dengan ucapan sahabat, hadits shahih atau ayat.

Ini karena ucapan seorang sahabat meskipun shahih bisa jadi jawabannya itu hanya diperuntukan dalam kondisi-kondisi tertentu saja, atau memiliki syarat yang tidak dijelaskan. Begitupula ucapan para tabiin dan madzhab lain selain madzhab yang empat. Adapun hadits shahih dan ayat, banyak sekali hadits dan ayat yang dihapus hukumnya, memiliki syarat yang dijelaskan di tempat lainnya, dan pembatasan-pembatasan lain yang tidak mungkin difahami kecuali oleh seorang mujtahid.

Termasuk dalil terkuat kewajiban mengikuti empat madzhab adalah perbuatan para ulama panutan. Para ulama rujuan yang hebat setelah zaman Imam Ahmad bin Hanbal, semuanya adalah muqolid dan tidak berani mengaku sebagai mujtahid. Al Hafid al Imam Ibnu Hajar Atsqolani yang dijuluki Amirul Mukminin fil Hadits, beliau bermadzhab Syafii, Imam Nawawi bermadzhab Syafii, al Ghazali bermadzhab Syafii, Imam Qurtubi ahli tafsir bermadzhab Maliki, al Hafid Ibnu Rajab bermadzhab Hanbali, Mula Ali Qori bermadzhab Hanafi. Dan hampir semua ulama rujukan bertaklid pada salah satu dari madzhab yang empat. Maka bagaimana bisa setelah ribuan tahun para ulama menyepakati untuk mengikuti satu dari empat madzhab, kemudian di zaman ini ada orang yang mengaku mencapai derajat mujtahid dan menyatakan pengikut empat madzhab adalah sesat? Sungguh ia tengah memamerkan kebodohannya dan pertentanganya kepada hampir seluruh ulama rujukan umat Islam. Dan sungguh ia telah masuk ke dalam golongan orang bodoh yang berfatwa tanpa ilmu sebagaimana sabda Nabi :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara sekaligus dari pada hamba. Tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatan ulama, kemudian jika sudah tidak tersisa lagi orang alim, manusia akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Mereka ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Bukhari-Muslim)

Maksudnya orang bodoh di sini adalah orang yang ilmunya tidak sempurna. Sebab orang yang benar-benar bodoh tanpa ilmu sama sekali tidak mungkin dijadikan pemimpin oleh manusia dalam urusan agama.

Demikian pejelasan ringkas mengenai taklid kepada empat madzhab, semoga bermanfaat. Aamiin.RA(*)