Posted on 17 August 2025
*Disarikan dari ceramah Al-Habib Abubakar Adni bin Ali Al-Masyhur
Al-Walid bin al-Mughirah pernah datang untuk mendebat Rasulullah ﷺ. Ia berkata: “Wahai Muhammad, aku punya empat tawaran untukmu. Setelah itu, kami ingin engkau mengubah pendirianmu dalam dakwah ini.”
Tawaran pertama, katanya: “Jika engkau gila, kami akan memanggilkan tabib-tabib terbaik untuk mengobatimu.”
Tawaran kedua: “Jika engkau sekadar terdorong oleh hasrat, kami akan menikahkanmu dengan wanita mana pun yang engkau sukai.”
Tawaran ketiga: “Jika engkau miskin dan butuh harta, kami akan mengumpulkan uang agar engkau hidup berkecukupan seumur hidup.”
Tawaran keempat: “Jika engkau haus kekuasaan, kami akan menjadikanmu penguasa atas kami.”
Empat tawaran ini, kata Al-Habib Abu Bakar al-Adni bin Ali al-Masyhur, sesungguhnya adalah cerminan dari empat penyakit besar yang sampai hari ini menjadi sumber masalah dunia: sakit mental, syahwat, kerakusan harta, dan haus kekuasaan.
Bagaimana Rasulullah ﷺ menjawab? Beliau tidak tersinggung, tidak pula membalas dengan kasar. Bahkan ketika Al-Walid duduk dengan kaki terjulur arogan di hadapan beliau, Rasulullah tidak menyuruhnya menurunkan kaki. Beliau hanya berkata, “Dengarkan.” Lalu beliau membacakan awal Surah Fushshilat:
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, bacaan dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui. Sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan, namun kebanyakan mereka berpaling.” (QS. Fushshilat: 3–4)
Beliau terus membaca, hingga sampai pada ayat:
“Maka jika mereka berpaling, katakanlah: aku memperingatkan kalian akan petir seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan Tsamud.” (QS. Fushshilat: 13)
Mendengar itu, Al-Walid berdiri gemetar, menutup mulut Nabi ﷺ dengan tangannya, lalu berkata: “Demi Allah dan demi hubungan darah, hentikan! Jangan biarkan Tuhanmu menurunkan azab atas kami.”
Inilah kekuatan Al-Qur’an. Ia bukan sekadar puisi, bukan retorika kosong. Ia adalah hujjah terbesar yang Allah turunkan di bumi, yang membungkam kesombongan dan menghancurkan argumen kufur sepanjang sejarah.
Namun pertanyaannya: di mana generasi yang dididik dengan Al-Qur’an ini? Sekolah mana yang menanamkan nilai ini? Universitas mana yang menumbuhkan jiwa Qur’ani pada mahasiswanya?
Al-Walid kemudian keluar dari majelis Nabi ﷺ. Orang-orang Quraisy yang mengutusnya melihat wajahnya pucat berbeda dari sebelumnya. Abu Jahl berkata: “Muhammad telah menyihirnya!” Ia tidak berkata: “Muhammad meyakinkannya,” tetapi: “Ia telah tersihir.”
Beginilah propaganda bekerja. Setiap hari kita mendengar seruan yang sama: “Jangan dekati orang itu, bicaranya manis seperti madu, tapi dalamnya beracun.” Padahal inilah racun yang menghancurkan umat Muhammad: fitnah, kebencian, dan politik iblis yang memecah-belah masyarakat.
Sejarah mencatat, Rasulullah ﷺ tidak pernah tergoda oleh tawaran dunia. Ketika pamannya Abu Thalib menasihatinya agar melunakkan sikap, beliau menjawab:
“Wahai Paman, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini, aku tidak akan pernah meninggalkannya.”
Inilah hakikat dakwah: sebuah jalan hidup yang diwariskan kepada umatnya. Dakwah memiliki pilar-pilar utama: ilmu, amal, keikhlasan, wara’, dan takut kepada Allah. Inilah yang disebut al-‘umud—pilar-pilar utama. Sedangkan atapnya adalah seruan kepada Allah.
Allah berfirman:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata: sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat: 33)
Allah juga berfirman:
ادعُ إِلى سَبيلِ رَبِّكَ بِالحِكمَةِ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah.” (QS. An-Nahl: 125)
Apa itu hikmah? Hikmah adalah kebijaksanaan, ketenangan, kelapangan hati, cinta kepada manusia, dan kemampuan meredam konflik yang ditimbulkan setan di tengah umat: fanatisme, politik sektarian, rasisme, dan kebencian yang meracuni masyarakat.
Generasi baru hanya akan lahir bila mereka mampu naik di atas semua ini. Sebab setiap manusia, siapapun dia—Muslim atau kafir—punya hak untuk hidup di bumi. Allah menciptakan mereka bukan untuk dimusnahkan, tetapi untuk hidup berdampingan.
Sayangnya, kini kita kehilangan common ground—nilai bersama yang memungkinkan kita hidup damai di bumi. Akibatnya, manusia saling meniadakan satu sama lain, seakan-akan agar dirinya bisa hidup, orang lain harus mati. Ini adalah proyek setan.
Sedangkan agama—semua agama samawi—mengajarkan kebebasan: bahwa manusia boleh memilih, bahkan jika ia tetap kafir, Islam tidak mencabut hak hidupnya. Kekafiran mereka tidak merugikan kita, meski Allah tentu tidak meridhainya. Maka tugas seorang Muslim adalah menunjukkan kebenaran, memperlihatkan posisi setan, dan mengingatkan manusia akan makna agama dalam kehidupan.
Itulah warisan Nabi ﷺ. Sebuah panggilan hidup yang tidak bisa dibeli dengan harta, tidak bisa digantikan dengan jabatan, dan tidak bisa dihentikan dengan ancaman.RA(*)