Mitos Rabu Terakhir Bulan Shafar: Antara Takhayul dan Cahaya Ilmu

Posted on 19 August 2025



Sejarah manusia selalu dipenuhi oleh keyakinan, mitos, dan takhayul. Sebelum cahaya Islam menerangi Jazirah Arab, masyarakat Jahiliyah sangat terikat pada pandangan sempit mengenai waktu, hari, dan bulan. Salah satu di antaranya adalah keyakinan bahwa hari Rabu, terutama di akhir bulan, serta bulan Shafar merupakan waktu yang penuh kesialan.

Mereka menamai hari Rabu dengan istilah Ad-Dubār — yang berarti penghancur — karena diyakini membawa malapetaka. Tak sedikit pula yang menolak melakukan perjalanan, memulai usaha, atau menyelenggarakan kegiatan penting di bulan Shafar karena dianggap sebagai bulan sial. Sisa-sisa keyakinan ini ternyata masih hidup hingga kini, bahkan di kalangan sebagian umat Islam, seolah warisan Jahiliyah itu sulit benar dihapuskan.

Ungkapan klasik yang populer di kalangan Arab menggambarkan hal itu:

يَا أَشْأَمَ مِنْ يَوْمِ ‌اْلأَرْبِعَاءِ فِي صَفَر

“Wahai, engkau lebih sial daripada hari Rabu di bulan Shafar.”

Ungkapan tersebut dipakai untuk menyebut orang yang dianggap paling sial. Namun, apakah benar Islam mengakui adanya hari dan bulan sial?

Menyingkap Cahaya di Balik Rabu

Islam datang untuk memutus mata rantai mitos dan menggantinya dengan pandangan tauhid yang murni. Hari Rabu, yang oleh orang Arab Jahiliyah dianggap petaka, justru dalam riwayat sahih disebutkan sebagai hari diciptakannya cahaya.

Rasulullah bersabda:

وَخَلَقَ النُّورَ يَوْمَ ‌الْأَرْبِعَاءِ

Dan Allah menciptakan cahaya pada hari Rabu.”(HR. Muslim)

Karena itulah, banyak ulama memilih memulai majelis ilmu pada hari Rabu. Ilmu adalah cahaya, dan memulainya pada hari diciptakannya cahaya diyakini menghadirkan keserasian makna.

Lebih jauh, sejarah Islam juga mencatat bahwa hari Rabu memiliki keistimewaan lain. Sahabat Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi berdoa di Masjid al-Fath selama tiga hari: Senin, Selasa, dan Rabu. Doa beliau dikabulkan justru pada hari Rabu antara Zuhur dan Asar. Sejak itu, Jabir selalu memilih waktu tersebut untuk memanjatkan doa dalam urusan-urusan penting, dan ia mendapati doanya terkabul. (HR. Ahmad, al-Baihaqi).

Apakah ini gambaran hari sial? Justru sebaliknya, ia adalah momentum penuh berkah.

Shafar: Bulan Kesialan atau Bulan Berkah?

Tidak hanya Rabu, bulan Shafar juga dianggap penuh musibah oleh masyarakat Jahiliyah. Namun sejarah membuktikan sebaliknya.

  1. Pernikahan agung Rasulullah dengan Sayidah Khadijah berlangsung pada 25 Shafar — pernikahan yang menjadi fondasi dakwah Islam.

  2. Pernikahan Sayidina Ali dengan Sayidah Fatimah juga terjadi pada bulan ini — sebuah ikatan yang melahirkan generasi Ahlul Bait.

  3. Dalam salah satu pendapat disebutkan bahwa Rasulullah memulai perjalanan hijrah dari Mekah pada bulan Shafar, sebuah langkah monumental yang menjadi tonggak kemenangan Islam.

  4. Pada bulan Shafar pula, umat Islam meraih kemenangan gemilang dalam Perang Khaibar, yang mengokohkan posisi politik dan militer kaum Muslimin.

Seandainya Shafar adalah bulan sial, mustahil peristiwa-peristiwa penuh keberkahan itu terjadi di dalamnya.

Islam dan Pandangan tentang Takhayul

Islam menolak segala bentuk keyakinan tentang waktu sial, sebab musibah atau keberuntungan tidak ditentukan oleh hari atau bulan, melainkan oleh kehendak Allah . Al-Qur’an menegaskan:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (QS. Al-Hadid: 22)

Dengan ayat ini, Islam membebaskan manusia dari belenggu ketakutan buta terhadap hari dan bulan tertentu, lalu mengarahkan perhatian kepada takdir Ilahi dan ikhtiar manusia.

Refleksi Modern: Mengganti Takut dengan Optimisme

Di era modern, masih ada masyarakat yang mengaitkan bencana, penyakit, atau kegagalan hidup dengan waktu tertentu. Padahal, mentalitas semacam ini justru mengekang produktivitas dan menghambat kemajuan.

Bayangkan jika seorang pengusaha enggan memulai bisnis karena kebetulan tanggalnya jatuh di hari Rabu, atau seorang pelajar menunda mendaftar kuliah karena dianggap bulan Shafar itu sial. Bukankah itu bentuk pengulangan dari takhayul kuno?

Islam justru mengajarkan optimisme: tidak ada waktu yang buruk, yang ada hanyalah amal manusia yang menentukan baik atau buruknya hidup. Dengan demikian, alih-alih takut pada mitos, umat Islam diarahkan untuk mengisi setiap detik waktu dengan amal saleh, ilmu, dan doa.

Hari Rabu dan bulan Shafar bukanlah waktu sial, melainkan kesempatan yang sama mulianya dengan waktu lain untuk berbuat kebaikan. Justru sejarah Islam mencatat banyak peristiwa agung terjadi pada hari dan bulan tersebut.

Mitos kesialan hanyalah bayang-bayang masa lalu Jahiliyah. Islam hadir untuk membebaskan manusia dari kungkungan takhayul, lalu menggantinya dengan cahaya ilmu, doa, dan amal.

Maka, jika ada yang masih merasa gentar menghadapi “Rabu terakhir bulan Shafar”, ingatlah: bukan waktu yang membawa sial, tetapi bagaimana kita memaknai dan mengisinya. RA(*)