Posted on 29 September 2025
Al-Imam al-Ḥabib Abdullah bin ʿAlawi al-Haddad, dalam karyanya ad-Daʿwah at-Tammah, membagi ulama ke dalam beberapa kategori. Pembagian ini bukan hanya relevan pada zamannya, melainkan juga menjadi cermin untuk kita menilai realitas ulama di era kontemporer.
1. Ulama Rabbani: Mengamalkan dan Mengajarkan
Inilah sosok ulama yang ideal: ia beramal dengan ilmunya, mengajarkannya
kepada manusia, dan berdakwah hanya karena Allah semata, bukan karena
popularitas, kekuasaan, atau materi.
Merekalah pewaris para nabi sejati, yang derajatnya tinggi di sisi Allah dan
kelak mendapatkan kemuliaan di akhirat. Mereka menebar cahaya dengan ilmunya,
menghidupkan hati manusia, serta menjadi mercusuar peradaban.
2. Ulama yang Beramal, Namun Tidak Mengajar
Ada ulama yang ikhlas beramal dengan ilmunya, tetapi tidak
mengajarkannya kepada masyarakat. Jika alasannya adalah karena ego, ingin
menjadi satu-satunya rujukan, maka ia tercela. Namun, bila alasannya karena
sibuk memperbaiki diri, menenggelamkan diri dalam ibadah, atau merasa cukup
dengan keberadaan ulama lain yang sudah mengajarkan ilmu, maka ia tidak
berdosa.
Model seperti ini sering ditemukan di kalangan sufi yang lebih menekankan tajrid
(kesibukan memperbaiki batin) daripada tampil di ruang publik.
3. Ulama yang Mengajar, Tetapi Tidak Beramal
Inilah golongan yang diibaratkan seperti jarum yang menjahit pakaian
untuk orang lain, tetapi membiarkan dirinya telanjang; atau lilin yang
menerangi sekitar, namun membakar dirinya sendiri.
Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (٢) كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. As-Shaff: 2-3)
Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
يُؤْمَرُ بِالْعَالِمِ إِلَى النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ، فَيَدُورُ بِهَا فِي النَّارِ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَا، فَيَطِيفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ: مَا بَالُكَ؟ فَيَقُولُ: كُنْتُ آمُرُ بِالْخَيْرِ وَلَا آتِيهِ، وَأَنْهَى عَنِ الشَّرِّ وَآتِيهِ
Seorang alim diperintahkan masuk neraka, lalu terburailah ususnya. Ia berputar dengannya seperti keledai yang berputar di penggilingan. Penduduk neraka bertanya, “Mengapa engkau?” Ia menjawab, “Aku memerintahkan kebaikan tetapi tidak melakukannya, dan aku melarang keburukan namun aku melakukannya.”
4. Ulama yang Tidak Beramal dan Tidak Mengajar
Golongan ini seperti batu besar yang menahan aliran air: tidak bisa menyerap manfaat, juga tidak memberi manfaat. Allah ﷻ mengecam mereka yang menyembunyikan ilmu:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى... أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.) (QS. Al-Baqarah: 159)
5. Ulama Su’ (Ulama Jahat): Tidak Beramal, Tidak Mengajar, Justru Menyesatkan
Inilah tipe yang paling buruk. Mereka menjual ayat-ayat Allah demi jabatan, kekuasaan, atau harta. Dengan lidahnya, ia hiasi kesesatan agar tampak seperti kebenaran. Mereka adalah “khalifah setan”, pewaris dajjal, dan pengkhianat umat. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ اتَّبَعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan menanggung dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.
Allah ﷻ bahkan memberikan contoh dalam kisah Balam bin Bāʿūrā’, seorang alim yang tergelincir karena hawa nafsu:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا... فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ
Dan bacakanlah kepada mereka kisah orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri daripadanya lalu ia diikuti oleh setan hingga termasuk orang-orang yang sesat… perumpamaannya seperti anjing: jika kamu menghalaunya diulurkannya lidah, dan jika kamu membiarkannya ia juga mengulurkan lidahnya. (QS. al-A‘raf: 175-176)
Pembagian ini bukan sekadar wacana klasik, melainkan tamparan keras bagi realitas zaman kini. Di era digital, “ulama instan” bermunculan, sebagian menebar cahaya, sebagian lain justru menebar fitnah dengan ilmunya.
Maka, setiap pencari ilmu harus bercermin: berada di golongan manakah kita? Apakah kita pewaris nabi, atau justru pewaris setan?RA(*)