Makna “Al-Ummi”: Mukjizat Besar di Balik Ketidakmampuan Membaca dan Menulis

Posted on 18 September 2025



 

Al-Qur’an dan Gelar “Al-Ummi”

Allah menyebut Rasulullah sebagai النَّبِيُّ الأُمِّيّ dalam firman-Nya:

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ

"Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi."(QS Al-A’raf: 157)

Dan juga dalam ayat lain:

فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ

"Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi." (QS Al-A’raf: 158)

Kedua ayat ini menegaskan gelar al-ummi yang disematkan Allah kepada Nabi Muhammad , sebuah gelar yang mengandung dimensi bahasa, sejarah, dan mukjizat.

 

Makna Bahasa “Al-Ummi”

Para ulama memberikan berbagai penjelasan mengenai makna “al-ummi”:

  1. Tidak bisa membaca dan menulis.

Seperti yang diriwayatkan oleh Ibrahim al-Nakha‘i: “al-ummi adalah orang yang tidak membaca dan tidak menulis.”
Seakan-akan beliau tetap dalam keadaan sebagaimana dilahirkan oleh ibunya, tanpa melalui proses pendidikan formal tulis-baca.

  1. Berasal dari Umm al-Qura (Makkah).

Sebagian ulama mengatakan “al-ummi” berarti yang dinisbatkan ke Makkah sebagai pusat bumi dan peradaban tauhid.

  1. Nisbah kepada umat Arab secara umum.

Sebagaimana disebut dalam al-Maghrib, bangsa Arab pada masa itu dikenal sebagai ummiyyun karena mayoritas mereka tidak membaca dan menulis.

  1. Pemimpin umat.

Al-Nasafi berpendapat, “al-ummi” dinisbatkan kepada “al-ummah” (umat), yakni karena beliau adalah pemimpin dan kepala umat manusia.

  1. Tujuan dan arah (al-umm: al-qasd).

Ibn Athiyyah menambahkan makna lain: al-ummi berasal dari kata amm yang berarti tujuan atau arah. Nabi adalah sosok yang menjadi arah umat, tujuan manusia, dan kiblat moral dunia.

 

Hikmah Nabi sebagai “Al-Ummi”

Imam al-Azafi menjelaskan bahwa hikmah terbesar Nabi tidak bisa membaca dan menulis adalah agar mukjizat wahyu semakin nyata. Allah berfirman:

وَمَا كُنتَ تَتْلُوا مِن قَبْلِهِ مِن كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ

"Dan engkau tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu kitab pun dan engkau tidak menulisnya dengan tangan kananmu. Kalau (engkau dapat membaca dan menulis), pasti ragu orang-orang yang mengingkarimu."(QS Al-Ankabut: 48)

Artinya, justru karena Rasulullah tidak belajar dari kitab-kitab sebelumnya, maka Al-Qur’an tampil sebagai mukjizat murni. Ia tidak lahir dari tradisi literasi manusia, melainkan wahyu langsung dari Allah. Inilah yang membuat para orientalis sekalipun kebingungan: bagaimana mungkin seorang yang tidak bisa baca-tulis mampu menghadirkan sebuah teks yang melampaui seluruh karya sastra manusia sepanjang zaman?

Mukjizat dalam Perspektif Global

Jika ditarik ke dalam konteks dunia modern:

  • Literasi universal dianggap simbol kemajuan. Namun justru Allah menunjukkan bahwa seorang yang tidak membaca dan menulis bisa menjadi guru peradaban, penulis sejarah umat manusia, dan pembentuk etika global.

  • Nabi ummi bukanlah kekurangan, tetapi bukti keaslian wahyu. Dengan ini tertutup pintu tuduhan bahwa beliau “menyalin” dari kitab sebelumnya.

  • Gelar al-ummi memberi pelajaran: kebenaran tidak selalu diukur dengan ijazah, sertifikat, atau kemampuan literasi teknis, melainkan dengan otoritas ilahi, kejujuran hati, dan kebersihan jiwa.

Dengan gelar al-ummi, Nabi Muhammad tampil sebagai mukjizat hidup: seorang yang tak pernah membaca buku, tapi mengajarkan peradaban; seorang yang tak menulis, tetapi meninggalkan kitab paling agung; seorang yang sederhana dalam literasi, tapi paling agung dalam misi.

Inilah paradoks mulia yang sekaligus menjadi bukti bahwa Islam adalah agama wahyu, bukan hasil rekayasa manusia. Dan hingga kini, al-ummi tetap menjadi simbol kemurnian, otentisitas, dan mukjizat yang tak terbantahkan.RA(*)

Sumber: An-Nahjah As-Sawiyah karya Imam As-Suyuthi