Manusia dan Tujuan Hidupnya

Posted on 21 September 2025


Allah telah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ، مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku.  (QS Adz-Dzariat : 56-57)

Ayat ini adalah deklarasi Ilahi yang tegas: manusia tidak diciptakan untuk kesia-siaan, bukan pula untuk sekadar mengejar obsesi materi yang fana. Hidup ini adalah ladang pengabdian, bukan arena perlombaan hawa nafsu.

Tujuan utama hidup manusia adalah ibadah. Segala kesibukan duniawi—apakah itu karier, bisnis, ilmu pengetahuan, atau teknologi—hanyalah instrument ibadah, bukan destinasi tujuan.

Karena itu, para arifin selalu mengingatkan: hakikat manusia adalah hamba, dan sebaik-baik hamba adalah yang mengerti untuk apa ia diutus ke dunia. Dunia hanyalah persinggahan, bukan tempat tinggal abadi. Ia laksana perahu penyeberangan—kita menumpanginya sebentar, lalu meninggalkannya menuju negeri keabadian.

Allah kembali mengingatkan dengan permisalan yang sangat dalam:

إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Perumpamaan kehidupan dunia itu seperti air yang Kami turunkan dari langit, lalu dengan itu tumbuhlah berbagai tumbuhan di bumi yang dimakan manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah berhias dengan indah dan penduduknya menyangka mereka berkuasa atasnya, datanglah ketetapan Kami di malam atau siang hari, lalu Kami jadikan (tanamannya) seperti tanaman yang sudah dipanen, seakan-akan kemarin tidak pernah ada. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat bagi kaum yang mau berpikir.” (QS. Yunus: 24)

Betapa tajam gambaran ini: dunia yang tampak indah hanya sekejap, lalu lenyap tanpa bekas. Dunia sering tampil memukau, namun cepat hilang. Apa yang hari ini viral, besok terlupakan. Apa yang dianggap tren hari ini, esok hanya jadi sejarah.

Fenomena Modern: Dunia yang Menipu dengan Wajah Baru

  1. Media Sosial dan Ilusi Kehidupan
    Orang mengejar likes dan followers seolah itulah ukuran bahagia. Padahal, dunia digital adalah cermin palsu: indah di layar, kosong di hati.

  2. Konsumerisme Global
    Iklan, mall, dan e-commerce menanamkan pesan: “Kamu adalah apa yang kamu beli.” Akibatnya, manusia bekerja mati-matian bukan untuk hidup, tapi untuk membeli simbol status. Padahal barang-barang itu hanya memberi kesenangan sesaat.

  3. Krisis Spiritualitas
    Dunia modern penuh gadget, namun miskin ketenangan. Ada smartphone, smart city, dan smart home, tetapi hati manusia kehilangan smart soul. Angka depresi dan kecemasan meningkat, karena manusia melupakan tujuan sejatinya.

Pelajaran dari Para Bijak

Seorang penyair berkata:

إِنَّ للهِ عِبَاداً فُطَنَا … طَلَّقُوا الدُّنْيَا وَخَافُوا الفِتَنَا

نَظَرُوا فِيهَا فَلَمَّا عَلِمُوا … أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا

جَعَلُوها لُجَّةً وَاتَّخَذُوا … صَالِحَ الأَعْمَالِ فِيهَا سُفُنَا

Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas, mereka menceraikan dunia dan takut fitnahnya.

Mereka memandangnya, lalu sadar bahwa dunia bukan negeri abadi bagi yang hidup.

Maka mereka menjadikannya lautan, dan amal saleh sebagai perahu-perahu yang menyelamatkan.

Dalam dunia modern yang penuh distraksi, kita sering diperdaya oleh industri hiburan, lautan informasi, dan gemerlap kapitalisme global. Namun, pesan Al-Qur’an tetap relevan: dunia hanyalah media, bukan tujuan.

Seorang mukmin modern harus berani memegang prinsip: menggunakan dunia seperlunya, tapi tidak diperbudak olehnya. Menjadi ahli teknologi, politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan adalah mulia—namun semua itu hanyalah alat pengabdian, bukan berhala baru yang disembah.

Jalan Selamat: Mengikuti Jejak Nabi

Lalu, apa jalan paling tepat? Para ulama menegaskan: beradab dengan sunnah Nabi . Beliau adalah sayyid al-awwalin wa al-akhirin, teladan utama bagi manusia yang ingin menyeberangi lautan dunia menuju ridha Allah.

Maka, manusia berakal seharusnya tidak larut dalam pesta fana dunia. Ia perlu menyiapkan dirinya, membangun kapal amal saleh, dan berlayar bersama cahaya sunnah. Di situlah keselamatan sejati.RA(*)